Sisipagi.com – Siapa yang menyangka bahwa Habibie bisa menjadi politisi ulung hingga menjadi presiden ke 3 republik ini. Dari seorang teknokrat sebagai akedmis alias professor dibidang pesawat terbang hingga dunia menjulukinya Mr. Crack. Kemudian karirnya pernah melejit sebagai politisi tertinggi di Negri ini dimana era reformasi dimulai tahun 1998 menggantikan Suharto kala itu.
Kita sepakati bersama bahwa sistem Presidensial yang kita anut sebagai kesepakatan konstitusi bernegara. Maka secara sederhana bisa dipastikan puncak tertinggi kewenangan politik tertinggi adalah seorang Presiden. Walau kadang ada istilah “petugas” partai belakangan anggap saja ini dinamika politik di negri kita, masing-masing bebas berpendapat setuju atau tidak terkait fenomena “petugas” partai ini.
Kader Partai dan Karir Politiknya
Sejatinya istilah petugas partai tidak sepenuhnya salah apabila mengacu pada fungsi partai yang tidak praktis untuk kepentingan partai semata melainkan mengedepankan banyak kepentingan darurat yang genting dibutuhkan masyarakat. Untuk ketua partai sendiri memiliki peran untuk menjaga eksistensi atau keberadaan partai. Kadernya hilang satu misal ia bisa mencari lagi kader-kader terbaik demi tetap berjalannya partai.
Alkisah seorang kader politik ia patuh pada partainya namun ketika dia menjadi anggota legislasi alias dewan yang mewakili rakyat maka ia harus menghibahkan dirinya untuk rakyat walau terkesan partai hanya kendaraan awal. Sadar betul bahwa kendaraan utama berpolitik adalah kepentingan rakyat.
Jika harus mengacu pada sejarah panjang partai politik di tanah air. Sebut saja tahun 1999 sejumlah 48 partai yang ikut pemilu di era awal reformasi hingga saat ini partai yang ikut pemilu di tahun 2024 berkurang drastis. Komisi Pemilhan Umum (KPU) menetapkan hanya 17 partai yang ikut pemilu.
Fenomena di atas bukan berarti banyak partai politik yang tidak mampu menjaga eksistensinya. Melainkan dinamika politik bergerak tiap periode yang berubah-berubah. Saat ini dinamika politik koalisi semakin marak makanya partai yang ikut tidak sebanyak dulu walau faktanya memang ada paratai yang bubar jalan di persimpangan jalan.
Menilik sejarah Dwitunggal: Politisi Belajar pada Soekarno-Hatta
Sederhananya dwitunggalnya Soekarno-Hatta adalah dua orang dengan pemikiran dan ide yang berbeda namun menjadi satu dan saling melengkapi untuk menjaga persatuan sebuah negara yang akan dan baru saja merdeka. Politik yang dimainkan kedua tokoh ini menarik menurut saya, kaya dengan pikiran besar dan mendalam datang dari Hatta sedang narasi yang membakar massa alias banyak orang datang dari Bung Karno baik dalam tulisan dan pidato-pidatonya.
Dalam catatan sejarah kemerdekaan dua tokoh di atas banyak memiliki perbedaan terlebih dalam pemikiran bahkan ideologi politik. Tapi kenapa mereka bersatu? Inilah tilik sejarah yang patut kita catat baik-baik, bahwa perbedaan itu kalah dengan persatuan.
Soekarno-Hatta Hanya memiliki satu kesamaan yaitu sama-sama dijadikan simbol bapak Proklamator kemerdekaan republik ini di 1945. Generasi muda kala itu mendesak agar segera diproklamirkan sebuah kemerdekaan bagi Indonesia karena adanya kesempatan bahwa Jepang sedang luluh lantah dengan dibomnya Hirosima dan Nagasaki pada perang dunia II dan ini momentum bagi Indonesia.
Akademika Ambil Peran Politik
Setelah menilik Soekarna-Hatta dalam catatan sejarah sebagai dwitunggal politik. Mereka berhasil menjadi politisi yang mencatatkan nama mereka dalam panggung sejarah perebutan kemerdekaan karena sebuah “keberkahan” momentum politik.
Namun satu hal yang perlu disadari bahwa kedua tokoh ini adalah berangkat dari orang yang terdidik dan terpelajar sebutan kala itu. Namun secara spesifik Hatta adalah seorang akademika yang belajar ke negri Belanda. Kecerdasannya dibidang hukum yang secara akedemis diseriusi lalu beliau tidak berhenti belajar kemudian sebagai diplomat ulung bagi negri ini kala terjadi sidang Meja Bundar Den Haag (Belanda).
Berpolitknya akademika alias ilmuan itu sah. Sebagaimana di awal saya menyinggung proses politik seorang Habibie yang awalnya ilmuan hebat kemudian memiliki karir politik sebagai presiden ke tiga Republik Indonesia. Tulisan ini hanya ingin membuka mata kita semua bahwa proses politik itu bisa ditempuh melalui jalur man
Penutup: Politisi dan Akademis berpolitik
Tulisan ini tidak tentang harusnya berpolitik praktis melainkan melihat gambaran utuh bahwa menjadi politisi tidak hanya dengan satu cara. Bisa dengan prestasi akedemik misal atau menjadi hebat dibidang tertentu.
Prestasi, karya dan kerja hebat bisa jadi senjata nyata untuk sebuah kontribusi bagi negri. Terkait diposisikan sebagai politisi atau tidak semua hanyalah kendaran. Politisi memang syogyanya berpolitik sedak para akademis tidak terhalagi ruang berpolitik.
~~~
Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan memberikan tip buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: tip dan jajan penulis , terimakasih.
Leave a Reply