SISIPAGI – Buku dan sebuah peradaban dalam sejarah. Buku adalah sebuah jendela tidak hanya jedela dunia tapi juga jendela peradaban. Naasnya kita sedang mengalami musim “pancaroba” dalam hal mencinta buku belakangan ini.
Ketika Gothe, Umar bin Khattab hingga Sulthan Khan mempercai buku adalah kerja peradaban. Lantas kita hari ini masihkah ragu untuk memuliakan buku hanya dengan sekedar membacanya?
Ghote dan Karya Sastra Terindah
Ketika Johann Wolfgang von Goethe sang sastrawan besar asal Pancis itu mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sastra paling indah bahasanya. Sejak ratusan tahun lalu Umar bin Khattab begitu cintanya pada Qur’an lalu membukukannya.
Jadilah satu mushaf yang hingga kini menjadi buku paling best seller di dunia berdasarkan riset yang pernah dilakukan di Amerika bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya buku paling banyak dicetak dan diminati oleh masyarakat Eropa untuk dipelajari isinya.
Kerja Sejarah masa Ummar Bin Khattab
Umar bin Khattab telah meletakan batu pertama untuk mencintai sebuah buku dan beliau memulainya dengan membukukan Qur’an yang sebelumnya belum disatukana hanya ada dalam hafalan para sahabat dan dilembaran-lembaran mushaf yang terpisah.
Perdebatan panjang akan pembukuan pada Quran ini terjadi. Umar bin Khattab tegas ini harus dilakukan, penting dan sang perlu dilakukan.
Pada akhirnya, kendati ini kita anggap visioner tentu Umar bin Khattab melakukan ini karena menangkap pesan ilham dari sejarah peradaban bahwa membukakan Quran adalah catatan sejarah dalam peradaban Islam itu sendiri.
Buku dan Pemuliaan Pada Tuhan
Buku adalah cara “pemuliaan” pada Tuhan paling beradab (Sultan Khan)
Salah satu pemimpin di Afganistan ini sangat mencintai buku kala serangan terhadap buku itu diserang bertubi-tubi oleh dua rezim. Ada rezim Taraki (komunis) dan Taliban (guluw/berelebihan), keduanya sama saja berwajah monster dalam menghadapi buku sama-sama ingin melahapnya dalam kobaran api.
Kecintaan Sulthan Khan terhadap buku begitu luar biasa kala itu walaupun rezim komunis dan taliban yang tidak hanya membantai manusia tapi juga melenyapkan buku dengan kobaran api. Beliau murka dan marah pada tindakan ini karna baginya ini tindakan menghina perdaban Ilmu yang mana dengan ilmu kita mengenal Tuhan lebih dekat. Ada satu keyakinan beliau bahwa semua akan tercatat rapi dalam sejarah.
Sejarah dan Buku
Kalian bisa membakar buku-buku, kalian bisa menyusahkan hidupku, bahkan kalian bisa saja membunuhku. Namun kalian tidak bisa menghapus sejarah Afganistan “lewat buku”.
Buku bisa saja dimusnahkan dengan cara apapun. Namun sejarah akan mencatat semua dan akan terulang terulang dalam catatan sejarah bahwa ada yang memusnahkan buku. Sultan Khan menegaskan secara pasti bahwa semua akan tercatat rapi melalui buku.
Singkatnya, dengan buku kita bisa seolah kembali hidup di peradaban lampau paling terjauh sekalipun. Untuknya prahara mencintai buku adalah catatan panjang tersendiri bagi mereka yang “bercumbu” dengannya saban hari.
Buku adalah peradaban kemajuan umat manusia
Luka sejarah dalam peradaban dunia ialah ketika buku dihancurkan. Bila senjata itu menghancurkan dan meluluh lantahkan manusia dan perdaban fisik.
Tapi sebaliknya, buku akan merawat manusia dengan cakrawala berpikir untuk kemajuan segala aspek peradaban umat manusia. Hal ini harus dicamkan baik-baik agar kelak tak lagi ada fenomena pembantaian terhadap warisan perdaban intelektual yang sangat dibutuhkan oleh kemajuan umat manusia.
Setelah kita menilik peradaban dunia akan buku. Tentu kita juga ingat bahwa bangsa kita tercinta ini lahir dari sebuah imajinasi awalnya. Ini buah pikiran dari para intelektual-intelektual yang menggandrungi buku dan melek pada buku dari berbagai belahan dunia. Sebut saja Ir. Soekarno yang bacaannya hingga literatur Rusia. Ada Hatta yang mengelang buana hingga ke Belanda demi membaca banyak literaur lagi.
Diplomat ulung mencintai buku
Kita pernah memiliki diplomat ulung yang menguasai belasan bahasa dan banyaknya bacaan beliau jangan ditanyakan lagi, pernah mengajar hingga ke negri paman sam di Amerika kala itu dan beliau kita kenal dengan nama KH. Agus Salim.
Banyak lagi tokoh bangsa kita yang sangat mencintai buku yang telah berhasil mendirikan negri ini dengan darah perjuangan dan imajinasi yang melewati jangkauan dan dugaan apa mungkin kita bisa merdeka sekian lama terjajah?
Apa mungkin kita memiliki nama yang sekarang kita sebut Indonesia? Inilah warisan legacy mereka untuk tanah air tercinta. Mereka para pejuang tentu melewati fase perjuangan berat dan diasingkan adalah hal biasa masuk dalam jeruji besi
Merdeka dan Bebas bersama Buku
Bagi Bung Hatta, buku adalah kebebasan. Kecintaannya ini akhirnya membawakan Indonesia menemui gerbang kemerdakaan. Hari ini yang menjadi pertanyaannya bagaimana kita mengisi kemerdekaan itu.
Adakah alasan bagi anak negeri di negri yang dilahirkan oleh pikiran besar para pendahulunya tidak mencintai buku, malas membaca, ogah berdialektika? Hanya tau nyinyir dan koment dengan narasi “samapah” di media sosial.
Jadi, renungan saja semoga goresan kali ini kita bisa memaknai arti penting mencintai buku setelah sedikit mengeja prahara zaman yang ada di dalamnya hingga negri ini lahir lewat pikiran besar dari imajinasi yang tentu terinspirasi dari bacaan yang luas seluas melihat dunia dan sejarah peradabannya. Hari ini kita kekosongan narasi yang besar. Siapkah kita milenial menyongsong narasi baru untuk kamajuan negri tercinta?
Salam
Saduran dari Artikel Highlight Kompasiana Edisi November 2022, dengan beberapa perbaikan.
Kilik, membaca tuntas, dan komentar. Sangat berarti untuk penulis/editor. Terimakasih. Tertanda Management SISIPAGI.
Leave a Reply