Cinta Dalam Secangkir Kopi

Kopi

Cinta bukanlah bertahan seberapa lama. Tetapi seberapa jelas dan ke arah mana.( Cak Nun )

Sisipagi.com – Apa sih cinta dalam secangkir kopi? Perbincangan ini dimulai dari meja yang dipenuhi dengan gelas espresso, ice americano, coffe latte, dan air mineral. Keempat orang ini adalah sahabat lama yang dulunya adalah aktivis pergerakan di kampus. Malam ini adalah kesempatan langka karena masing-masing sudah berkiprah di dunianya sendiri. Berada dalam kota yang berbeda dan dipertemukan kembali di kota Jogja dimalam hari dimana bulan menampakkan cahaya purnama.

Kami memilih kedai kopi dimana letaknya tak jauh dari keberadaan tempat kami menempuh studi. Hitung-hitung bernostalgia di kawasan yang dulunya kami lewati setiap hari. Sebagian pengunjung kedai kopi ini sibuk dengan aktifitasnya. Ada yang sekedar ngobrol santai, bersenda gurau, ada yang menikmati romansa cinta bersama sang kekasih, ada pula yang sibuk dengan laptopnya dan earphone terpasang di kedua telinga. Mungkin ia sibuk menyelesaikan tugas kuliah ataupun bisa jadi sedang bekerja.

Cinta dalam Sejumput Espresso: Cerita Perjalanan di Meja Kopi yang Berbeda

Meja kami nampak berbeda karena sepertinya pembicaraan kami agak lebih berat dari yang lainnya. Kami membicarakan realitas kehidupan dengan segenap haha hihi yang terjadi. Dulu kami berdiskusi tentang peranan reformasi dalam perkembangan demokrasi, revolusi dan gerakan progresif kaum intelektual, membicarakan isu politik negeri seolah-olah kami telah menduduki parlemen dan siap membuat kebijakan dan merubah dunia. Ingin tertawa rasanya mengingat momen-momen itu. Namun malam ini berbeda. Kami menjadi manusia pada umumnya yang mencoba survive dari hari ke hari seperti masyarakat yang dulu kita gagas untuk merubah nasib hidupnya.

Kini kami mencoba mengadu nasib sendiri. Berjuang menuntaskan tanggung jawab masing-masing dalam peranan kehidupan sehari-hari. Sahabat saya yang pertama, masih asyik dengan kesendiriannya berkutat dalam dunia intelektual dan betah di kampus tercinta. Sahabat saya yang kedua adalah pengantin baru yang mulai menjajaki tahun-tahun awal pernikahan dan belum memiliki momongan. Sahabat saya yang lain, sudah memiliki dua orang anak dan masih berusaha mempertahankan visi misi pernikahannya dengan segenap rasa. Dan tentunya saya sendiri, yang mulai menginjak dekade kedua tahun pernikahan.

Nostalgia dan Realitas: Kembali pada Meja Kopi Bersama Sahabat Lama

Dari sini, sudah terlihat jelas bahwa saya lah yang memilih menu espresso diantara minuman lain yang tersaji di meja. Espresso malam ini seperti manifestasi saya yang mempunyai taraf rasa paling pahit dalam pemilihan menu kopi sesuai dengan perjalanan yang paling jauh berliku diantara kami berempat. Tapi bagi penikmat espresso, sekalipun itu pahit justru itu adalah kenikmatan tersendiri yang selalu dinanti. Kepahitan kopinya tak lagi terasa, karena para pecinta espresso lebih menikmati esensi rasa dari kopi itu sendiri.

Dilihat dari umur perjalanan cinta dalam pernikahan tentunya saya memiliki kuantitas yang paling lama. Kali ini saya akan membahas tentang ungkapan Cak Nun yang saya tuliskan di atas. Bahwa perjalanan cinta bukan tentang angka dan dimensi ruang waktu belaka. Perjalanan cinta adalah refleksi dari sebuah langkah yang ditentukan bersama. Seberapa jelas dan kearah mana. Kami berempat punya cerita masing-masing. Ada yang bujangan,pengantin baru, dan sudah memiliki momongan. Tentunya kami punya fase yang berbeda. Dan fase-fase tersebut larut bersama dalam kopi yang kami teguk malam ini.

Lagi-lagi ini bukan tentang siapa yang lebih hebat diantara kita, karena cerita itu adalah dongeng yang membosankan. Selain bercerita tentang nostalgia masa lalu di kampus, kami menceritakan perjalanan kami secara bergantian. Prinsip-prinsip yang dimiliki. Tentang perbedaan pandangan di keluarga masing-masing dan tentunya perjalanan cinta kami semua. Kami memiliki arah yang berbeda. Perjalanan kami pun dimulai dari tempat yang tak sama dan waktu yang berbeda.

Espresso Pahit: Manifestasi Perjalanan Hidup yang Berliku

Perjalanan jauh ini memang membutuhkan energi yang tidak sedikit. Saya mungkin berada dalam urutan terdepan secara kalkulasi waktu. Namun belum tentu pemaknaan hidup yang dialami jauh lebih baik. Karena sejatinya hidup adalah tentang kebermanfaatan. Maka bukan seberapa banyak bilangan angka usia kita tapi seberapa banyak manfaat yang telah kita tebar di dunia. Perjalanan panjang ini perlu jelas dan kearah mana. Karena memang kita tak pernah tau seberapa panjang umur kita. Kapan kita berhenti karena harus kembali.

Maka cinta akan terus bertumbuh sekalipun berada dalam alam yang berbeda.
Maka hanya cinta yang mampu menjadi bekal kita untuk menuju negeri yang kekal adanya.
Maka sejatinya cinta, yang menjadikan kita sadar bahwa kita akan menjadi hamba yang sejati.

Albar Rahman

Writer, Editor and Founder of Books For Santri (Hujjatul Islam Boarding School)