sisipagi.com – Sebuah cita-cita tanpa dilandasi idealisme dan perjuangan rasanya menemukan kehampaan. Goresan tokoh kali ini datang dari penulis, jurnalis sekaligus sastrawan kenamaan.
Hamka menulis banyak hal beliau juga dikenal sebagai ulama besar milik negri ini. Semoga tulisan kali ini membawa berkah. Selamat menikmati!
“Gantungkanlah cita-citamu di bintang,” ujar Bung Karno.
Apakah arti ideal itu?
Ideal ialah cita-cita hidup, atau tujuan hidup; di dalam bahasa Arab “al-matsalul ‘ala.” Yaitu bentuk keadaan yang sempurna, yang tak ada cacatnya, yang jadi cita-cita pada tiap-tiap orang yang berpikiran dan berbudi.
Lawan ideal ialah real, keadaan yang nyata, atau keadaan yang telah ada. Jadi, ideal adalah di dalam alam pikiran, dan real sesuatu yang disaksikan oleh panca indra. Misalnya Dr. Rivai, Tjokroaminoto, Dr. Wahidin, melihat 45 tahun yang lalu bagaimana kesengsaraan, kehinaan, hanya dapat hilang apabila tanah air mereka telah merdeka.
Perjuangan dan Cita-Cita
Cita-cita mereka itu dijadikan kepercayaan yang teguh, dijadikan iman yang tak bisa digoyangkan. Orang yang tak mengerti tentu akan tertawa di waktu itu, tentu akan menuduh orang yang bercita-cita itu orang gila.
Adakah mungkin tercapai kemerdekaan, padahal kuku kekuasaan Belanda telah terhunjam sampai kepada urat dan daging bangsa. Namun, orang yang mempunyai cita-cita tidak peduli dengan tertawaan orang. Sebab, cita-cita adalah perhitungan yang tepat dan memang orang yang mempunyai cita-cita itu dahulu datang dari waktunya.
Pengorbanan
Ramai sungguh orang yang mempunyai cita-cita itu menderita kesengsaraan, kesukaran, kepayahan lantaran cita-cita, tetapi ia puas dengan itu. Ia merasa dengan itu, dan ia merasa bahwa kesengsaraan itulah hakikat keindahan dan kepayahan itulah lezat yang se jati.
Kadang-kadang ia jadi korban dari cita-citanya. Ada yang terbunuh, terhina, terbuang, dan terasing. Kadang-kadang, bahkan banyak sekali, ia sendiri tak merasai dan tak menyaksikan buah awal dari cita-citanya, tetapi orang lain menyempurnakannya.
Seperti cita-cita Rivai, Tjokro, dan Wahidin tentang kemerdekaan bangsanya. Disambung oleh angkatan Tan Malaka, Semaun, dilanjutkan oleh angkatan Sutomo-Thamrin, dan diperbuahkan oleh Soekarno- Hatta.
Artinya, sesudah hancur daging mereka dalam kubur, sesudah putih tulang berlumur tanah, baru arwah mereka dapat menyaksikan dari celah-celah kuburnya cita-cita mereka itu berhasil.
Memaknai hadia untuk perjuangan
Sekarang tanah air telah merdeka, cita-cita orang dahulu telah terkabul. Namun, tentu akan terasa oleh pemuda melihat keadaan yang sebenar, yang nyata, bahwa banyak lagi yang belum sempurna.
Tentu golongan pemuda insaf bahwa pekerjaan membina bangsa bukan pekerjaan setahun dua tahun melainkan pekerjaan berpuluh tahun. Alasan itu benarlah yang menyebabkan tiap-tiap pemuda harus membina cita-cita dalam sanubari menurut pandangan hidup masing- masing.
Mesti insaf pula bahwa cita-cita selalu meminta pengorbanan, penderitaan dan kepayahan. Tetapi itulah lezat hidup yang sejati.
Cita-cita dan angan-angan
Hanya harus diingat, ada perbedaan jauh antara cita-cita dan angan-angan. Cita adalah buah pandangan yang timbul sesudah melihat barang yang nyata walau bagaimana pun sukarnya, demi manfaat bagi diri dan masyarakat.
Sedang angan-angan yang di dalam bahasa Arab disebut khayal, ialah mimpi di waktu bangun, laksana si pungguk merindukan bulan, atau laksana kebanyakan pemuda yang berangan-angan hendak menikah dengan seorang gadis yang mempunyai sifat-sifat lengkap.
Cantik serupa bintang film, alim serupa keluaran madrasah Encik Rahman. Intelek serupa Mr. Maria Ulfa Santoso, tahu adat istiadat serupa gadis Pagaruyung empat abad yang lalu, dan suci serupa anak bidadari.
Perempuan yang begitu tentu hanya ada dalam dunia angan-angan. Akibatnya adalah satu dari dua:
Pertama, pemuda itu tidak menikah selamanya sebab menunggu kecintaannya itu datang.
Kedua, ia akan menikah dengan perempuan yang disangkanya mempunyai sifat-sifat yang diangan angankan itu, dan bercerai setelah nyata bahwa sifat-sifat yang dicarinya itu tidak ditemukan pada perempuan tadi.
Sesudah itu, menikah lagi dan bercerai pula, menikah lagi dan bercerai pula sehingga segenap kehidupannya hanya kumpulan dari nikah dan cerai, seperti ayam jantan!
Itulah perbedaan cita-cita dan angan-angan. Cita cita ialah untuk peri kemanusiaan dan angan-angan adalah bukti bahwa manusia itu adalah binatang yang lebih maju!
Salam
Disadur dari buku Lembah Cita-Cita Karya Buya Hamka. Tulisan ini diterbikan ulang berkali-kali hingga kita bisa temui terbitan 2016 oleh Gema Insani Press.
Kilik, membaca tuntas, dan komentar. Sangat berarti untuk penulis/editor. Terimakasih. Tertanda Management SISIPAGI.
Leave a Reply