Dosen “Serabutan” itu Sedang Menjadi “Listenner”

Dosen “Serabutan” itu Sedang Menjadi “Listenner”
ilustrasi nongkrong dosen mahasasiwa

SISIPAGI – Alkisah, perjalanan selama hampir satu jam ditempuh seorang dosen pengganti. Maklum dia baru, dan belum memiliki kampus tetap untuk menerimanya karena rumpun linear ilmunya mungkin sudah banyak yang penuhi. 

“Listenner” itu Dosen “Serabutan” 

Dosen Listenner adalah istilah yang coba saya kembangkan dari serapan bahasa inggris dimana sebuah kegiatan mendengarkan dengan aktif. Sederhanaya menjadi dosen pendengar aktif.

Begitulah kira-kira. Walau kesan banyak ceramahnya saya mencoba untuk dua arah dan mengajak mahasiswa ngobrol lalu mendengarkan dengan aktif.

Sedang dosen serabutan ini juga istilah baru dalam padanan bahas Indonesia coba untuk saya tawarkan. Sama seperti pekerja serabutan pada umumnya, sebagai dosen pemula dan menjadi dosen pengganti istilah ini rasanya nyaman jadi sebutan. Bukan merendah, tapi itulah adanya hehehe.

Ngobrol dan nyemil di kelas 

Ya, di kelas saya mencoba membawakan kuliah dengan santai. Ngajak ngobrol mahasiswa dan suasana kuliah bagai ngopi diwarung kopi, mahasiswa boleh nyemil dan sesantai yang mereka mau. 

Dengan kata lain menjadi pendengar untuk mereka adalah seni yang ingin dikembangkan. Sesekali ngoceh lalu membakar semangat nulis mahasiswa. 

Sesantai Nongkrong?

Perkuliahan memang sesantai nongkrong. Saya selalu percaya mahasiswa itu sudah membawa bekal ilmu masing-masing berikut pengalamannya. Maka dengan insiatif pribadi perkuliahan saya bawa sesantai nongkrong hingga akhir perkuliahan bahkan. 

Saya menutup kuliah dengan kalimat, “anggap saja ini hanya sebuah nasihat dari paman kalian saat ngobrol di warung kopi, okey dianggap paman menyebalkan karena isinya banyak nasihat”. 

Respon mahasiswa biasanya tertawa, tersenyum, sumringah. Sesantai itu kuliah sore tentang dunia kepenulisan jurnalistik fakultas sastra di salah satu kampus tertua milik negri ini. 

Ajakan nongkrong dari Mahasiswa 

“Pak, malam minggu boleh nongkrong gak?”. Nyeletuk salah satu mahasiswa sastra itu. Ya, kali ini saya masih jadi dosen pengganti di fakultas sastra untuk mata kuliah kepenulisan jurnalistik. 

Celutukan ajakan mahasiswa awalnya sontak membuat kaget. Namun respon positif menanggapi dengan sunyuman tanda saya mengiyakan. Antusis sekali, mahasiswa tersebut kemudian mengutarakan maksud dan niatnya. 

Ia ingin sekali belajar menulis dan mencoba menerbitkan artikel mereka di media mainstream yang ada. Sebuah kehormatan menjadi dosen tamu di mata kuliah kepunulisan jurnalistik menjadi kesan tersendiri sore itu. 

Segelas kopi sejuta Asa 

Suasana malam akhir pekan itu serasa hangat. Beberapa mahasiswa itu hadir dengan membawa curhatan mereka masing-masing, secara umum mereka hampir sepakat bahwa betapa di luaran sana banyak yang meremehkan jurusan sastra. 

“Sastra dipandang sebelah mata” celetuk mereka bersamaan. Saya mendengarkan lalu mencoba merasakan apa yang mereka rasakan. 

“Aku tuh selalu bangga tentunya bersyukur ya bergulat dibidang sastra, lalu menulis apapun”. Sahut saya dan respon awal terhadap curhatan mahasiswa. 

Yuk, kita jadi dokter peradaban

Lanjut, “menurutku semisal dokter nih hanya bisa nyembuhin satu orang pasien yang ditanganinya. Bebeda dengan pelaku sastra dengan berbagai bentuk hingga menulis itu bisa saja “menyembuhkan” manusia dari abad ke abad bahkan mencerahkan melalui karyanya. 

Malam hangat itu mengajarkan kami untuk menjaga asa. Segelas kopi lalu petikan sekelumit obrolan kami membawa pada sejuta asa untuk terus optimis menghidupkan sastra lagi. 

Senerai Penutup: membawa oleh-oleh sejuta asa

Selesai tongkrongan, kami berpisah, lalu mengantongi semangat dari hasil diskusi sedari sore itu. Bahwa ada sejuta asa dibidang yang kita garap bersama. Dosen dan mahasiswa malam itu sama-sama memberi oleh-oleh untuk dibawa pulang. 

Oleh-oleh kue terenak di masa depan yang kami labeli Sejuta Asa. Brandnya sastra obat peradaban. Manfaatnya menghidupka kembali rasa empati manusia-manusia. 

Salam

Kilik, membaca tuntas, dan komentar. Sangat berarti untuk penulis/editor. Terimakasih. Tertanda Management SISIPAGI.

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.