Albar Rahman – Generasi muda Indonesia berlatar apapun organisasi keagamaannya. Tapi satu hal hari ini milik kita dan NU maupun Muhamadiyah adalah wadah besar sekaligus rumah besar kita bersama.
Di harlah NU ke- 102 ini. Izin saya menggores pena secara reflektif, bukan karena pakar atau paling faham justru karena fakir atau masih minimnya pemahaman diri.
Seratus Tahun NU: Momentum Lompatan Baru
Seabad lebih sudah NU menjejak bumi Nusantara. Dari kampung-kampung pesantren hingga elite nasional, NU terus bergerak.
Kini, generasi muda NU dan anak negeri dihadapkan pada pertanyaan mendasar: Akan menjadi apa kita dalam lima tahun ke depan? Inilah momentum, bukan sekadar peringatan.
Sejarah Islam berbicara dalam siklus seratus tahunan, seperti dalam hadis Nabi, bahwa setiap abad akan ada pembaharu. Pertanyaannya, siapakah mereka?
Bukan hanya kiai besar di podium, bukan sekadar intelektual di ruang seminar. Pembaharu bisa siapa saja: penulis, guru, dokter, teknolog, atau seniman.
Maka, jangan tunggu waktu. Tulislah. Bertindaklah.
Karena dalam sejarah, diam hanya menciptakan kehampaan. Generasi ini bukan pewaris yang hanya berpegang pada nostalgia, tetapi penggerak yang menjemput masa depan.
Menulis: Jurnalisme atau Kesufian?
Di antara berbagai bidang, menulis menjadi garapan yang tak bisa ditinggalkan. Tapi menulis seperti apa?
Seorang jurnalis menulis untuk mengabarkan kebenaran, sementara seorang sufi menulis untuk mencari makna. Maka, mengapa tidak menggabungkan keduanya?
Menulislah layaknya jurnalis—tajam, lugas, berani—dan refleksikan seperti sufi—dalam, jernih, menyejukkan.
NU butuh narasi baru. Bukan sekadar berita rutin, tapi pemikiran yang hidup.
Tulisan yang menggugah, bukan hanya mengabarkan. Sebab, sejarah Islam diwarnai oleh tulisan alias peradaban ilmu pengetahuan.
Maka, wahai generasi muda, ambil pena dan menulislah. Karena dengan tulisan, kita ada. Dan dengan menulis, kita ikut merajut peradaban.
Pilihan Militan: Menjauh dari Politik?
NU dan politik—dua hal yang selalu berdampingan, tapi juga sering bersilang jalan. Kini, generasi baru dihadapkan pada pilihan: tetap bermain dalam politik atau mengambil jalan lain?
Justru menjauh dari politik bisa jadi pilihan paling militan. Mengapa? Karena perjuangan tidak selalu harus di jalur kekuasaan.
Politik praktis sering kali menggerus idealisme, sementara perjuangan yang lebih fundamental justru berada di luar sistem. Keadilan, kemaslahatan, kesejahteraan—itulah ladang perjuangan sejati.
Lihatlah mereka yang bekerja di bidang pendidikan, sosial, lingkungan, atau ekonomi. Mereka tak berada di kursi kekuasaan, tapi dampaknya nyata.
NU hari ini harus kembali ke ruhnya: mengayomi, bukan hanya berpolitik. Karena kekuatan NU sejatinya ada di umat, bukan di ruang negosiasi kekuasaan.
Soft Power NU: Keislaman dan Kebangsaan
NU selalu berbicara tentang Islam rahmatan lil ‘alamin dan kebangsaan. Dua hal yang sering dianggap berbeda, padahal justru itulah kekuatan utama.
Soft power NU bukan lobi politik atau manuver partai. Soft power NU adalah nilai.
Nilai yang menjaga bangsa dan negara. Nilai yang mengokohkan Islam tanpa harus menjadi kaku. NU bukan hanya milik santri, tapi juga milik bangsa.
Maka, tugas generasi muda NU hari ini adalah memahami dan menghidupi makna soft power ini. Islam dan kebangsaan bukan sekadar jargon, tapi cara hidup.
Jika NU ingin tetap relevan, maka NU harus menjaga keseimbangan ini. Jangan condong ke satu sisi saja, karena sejarah membuktikan, keseimbangan adalah kunci bertahan.
Perdamaian: Narasi yang Tak Boleh Padam
Di tengah dunia yang gaduh, perdamaian adalah suara yang sering kali tenggelam.
Tapi bagi NU, perdamaian bukan sekadar harapan. Ia adalah tugas. Dan tugas ini tidak boleh berhenti. Dari konflik politik hingga isu kemanusiaan global, NU harus terus menjadi juru damai.
Narasi perdamaian harus terus dinyatakan. Tidak boleh kalah oleh suara-suara yang penuh kebencian.
Perdamaian bukan tanda kelemahan, tapi justru kekuatan. NU harus menjadi jangkar di tengah badai, bukan justru ikut dalam pusaran konflik.
NU telah berusia lebih dari seratus tahun. Kini, estafet ada di tangan generasi baru.
Lalu, apa yang akan kita lakukan? Lima tahun ke depan bukan untuk menunggu. Tapi untuk melangkah.
Menulislah, berkaryalah, dan jagalah bangsa ini. Karena NU ada bukan hanya untuk umat, tapi untuk dunia.
Selamat Harlah NU ke- 102
Griya Kenanga, 7 februari 2025
Leave a Reply