Goresan tokoh kali ini datang dari seorang mentri agama diperiode kabinet merah putih. Salah satu sosok tokoh yang saya kagumi dalam menulis.
Beliau kali ini menuliskan sebuah tema menarik yaitu haji dibalut dengan aspek kebangsaan dalam hal ini kemanusiaan. Judul aslinya, “Haji dan Masalah Kebangsaan”.
Terbit pertama kali di Republika pada kolom opini edisi 2 Mei 2025. Tambahan subheading tujuannya untuk memberi kesan fokus aspek kajian yang mendalam dan reflektif.
Selamat membaca!
“Haji dan Masalah Kebangsaan”
Oleh PROF KH NASARUDDIN UMAR; Menteri Agama/Imam Besar Masjid Istiqlal
Menghubungkan doktrin ibadah haji dengan masalah-masalah kebangsaan dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia saat ini sangatlah menarik.
Khutbah Nabi Muhammad pada saat haji wada’ menyangkut soal doktrin teologis haji dan masalah-masalah kehidup an umat manusia lainnya menemukan relevansinya untuk diapresiasi.
Dimensi kemanusiaan
Menurut Nabi, secara substansial doktrin teologis haji itu sangat menekankan pentingnya egalitarianisme, persamaan di antara umat manusia tanpa ada sekat-sekat primordial atau egoisme sektoral yang hanya menguntungkan sebagian kalangan umat manusia, termasuk perilaku korupsi yang merusak pranata sosial secara sistemik.
Lebih jauh, Nabi mengatakan bahwa doktrin teologis haji sangat menekankan pentingnya manusia memelihara kesucian jiwanya, menjaga harta dan kehormatan orang lain, serta melarang keras seseorang melakukan penindasan terhadap mereka yang lemah, baik secara politik maupun secara ekonomi dan seterusnya.
Idealnya, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji mampu menjadi agen perubahan sosial kehidupan di tanah airnya masing-masing menuju terciptanya kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kalau kita tarik dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia kini, penegasan Nabi tersebut bisa menjadi latar sosiologis untuk meng analisis berbagai persoalan kebangsaan, seperti demokratisasi yang sangat menekankan aspek egalitarianisme atau masalah kian tidak terbendungnya jumlah pengangguran dan kemiskinan serta berbagai persoalan lainnya yang proses penyelesaiannya membutuhkan kesetiakawanan di antara sesama anak bangsa.
Memang, doktrin teologis haji dalam Islam selalu menarik untuk dikaji korelasinya dengan masalahmasalah kemanusiaan yang selalu bergerak dinamis, muncul dan berubah setiap saat sebagai tantangan bagi kehidupan umat manusia.
Mabrur dan Prilaku Sosial
Haji (mabrur) yang diterima oleh Allah menjanjikan peleburan dosa, sebagaimana Nabi menegaskan dalam sebuah hadis bahwa orang yang menunaikan ibadah haji karena Allah, sesuai dengan tuntunan Islam, mereka akan kembali sebagaimana dahulu dilahirkan dari rahim ibunya, bersih dari segala dosa.
Pada hadis yang lain Nabi mengatakan, ongkos berhaji itu ekuivalen dengan ongkos jihad di jalan Tuhan. Mereka memperoleh 700 kali lipat pada setiap satu dirham yang dikeluarkan.
Persoalannya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa haji kita itu diterima oleh Allah sementara masalah pahala merupakan rahasia Allah itu sendiri? Hingga kini belum ada literatur yang mampu mem beri jawaban/penjelasan pasti atas pertanyaan ini.
Argumentasi yang berkembang lebih merupakan analisis fenomenologis yang mencoba melihat eksistensi sesuatu aki bat gejala eksistensi sesuatu pula. Dalam konteks ibadah haji, diterima atau tidaknya haji seseorang itu bisa dilihat dari perilaku sosialnya.
Haji: Sebuah Pesan Moral
Apakah seseorang yang telah menunaikan ibadah haji itu lebih banyak lagi beramal saleh atau tidak? Mereka memiliki ke pekaan sosial untuk turut merasakan dan membantu orang-orang yang tengah dilanda musibah banjir dan tanah longsor?
Apakah mereka memiliki kepedulian untuk turut mengatasi kian melebarnya sayapsayap kemiskinan, pengangguran, masa depan pendidikan anak-anak telantar, yatim-piatu?
Dalam konteks inilah orangorang yang melaksanakan ibadah haji itu mesti mampu menerjemah kan pesan-pesan moral yang ter kandung di dalamnya. Haji bukan semata ritual yang bersifat cultus privatus, ibadah semata memenuhi rukun Islam yang kelima.
Nilai plus amal saleh
Haji juga merupakan ritual yang bersifat cultus publicus. Artinya, dengan demikian, seseorang (yang telah menunaikan ibadah haji itu) tidak boleh menutup mata dari persoalan-persoalan kemanusiaan sebagai mana telah penulis sebutkan.
Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Tuhan tetapi pada saat yang sama mengabaikan masalah-masalah kemanusiaan, maka sesungguhnya ia tidak beriman apa-apa.
Nilai plus ibadah haji itu terletak pada sejauh mana mereka mampu melakukan apresiasi terhadap simbol-simbol ritual di dalamnya, kemudian diejawantahkan sebagai amal saleh.
Hemat saya, kerja-kerja sosial kemanusiaan inilah substansi doktrin teologis Islam sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam.
Untuk itu, ibadah, termasuk haji, hanya akan sia-sia manakala tidak dibarengi dengan amal saleh. Untuk itu, jika ibadah haji ada lah penting, maka masalah kemanusiaan mesti ditempatkan dalam konteks yang juga penting.
Siapakah pendsuta agama?
Islam sangat tidak menoleransi seorang Muslim membiarkan seorang Muslim lainnya hidup dalam penderitaan seperti kemiskinan, kelaparan, dan seterusnya.
Perlu penulis tegaskan bahwa dalam Islam, orang-orang yang membiarkan kemiskinan dan kelaparan itu adalah mereka yang mendustai agama Tuhan.
Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, “Tahu kah kamu siapakah orang yang mendustakan agama itu? Mereka itulah orang-orang yang menghardik anak yatim. Mereka tidak mem beri perhatian/makanan kepa da orang-orang yang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalatnya.” (QS al-Maun: 1-5).
Firman Tuhan ini memperkuat argumentasi bahwa doktrin teologis haji memiliki muatan yang sama dengan doktrin teologis kemanusiaan universal. Penegasan Tuhan bahwa seorang Muslim yang tidak memberi makan orang-orang miskin dan menghardik anak yatim sebagai orang yang mendustakan agama adalah satu aksioma teologis bahwasanya Islam sangat menekankan amal saleh sebagai muara dari berbagai bentuk ritualitas.
Senerai Penutup: Kesejahteraan Universal
Layak kita bertanya, apakah hati mereka (orang-orang yang menunaikan ibadah haji itu) bergetar melihat saudara-saudaranya sebangsa bergelimang dalam kemiskinan, kelaparan yang mengancam sebagian masyarakat di negeri ini?
Yang pasti, seluruh ibadah dalam Islam, termasuk haji, haruslah di barengi dengan amal saleh. Karena, tujuan diturunkannya syariat Islam secara fundamental adalah untuk membangun kesejahteraan hidup umat manusia secara universal (Rahmatan lil alamin).
>>>>>
Sebuah Persembahan: Sisipagi Media Group. Untuk kalian yang peduli penulis silahkan kunjungi laman berikut >>>>> Peduli Penulis




















Leave a Reply