Jas Putih dan “Su(A)mpah” Profesinya

Jas Putih dan "Su(A)mpah" Profesinya
by. Abdulai Sayni / unsplash.com

Opini – Secangkir kopi pagi tadi menemani sarapan bareng. Setelah itu nyonya (istri) lanjut masak-masak untuk bekal dibawa ke tempat kerja.

Sembari menikmati kopi sebelum membersihkan kendaraan untuk berangkat kerja. Aku sempatkan baca satu artikel resonansi digores oleh Asma Nadia.

Artikelnya berjudul, “Yang Tertinggal Setelah Jas Putih Pergi”. Tulisan ini menggugah empati kita semua betapa pelecehan dari sebuah profesi terhormat ini amat mencoreng jas putih mereka.

Jas Putih Itu …

Membaca artikel di atas, membuat empati kita semua terusik. Selayaknya kopi pahit pekat yang aku minum pagi itu memperkuat rasa empati semakin teraduk.

Sontak sembari membaca artikel resonansi dari kak Asma Nadia. Aku berujar ke istri, masalah ini perlu kita suarakan bersama. “Yaudah hari ini mas mau coret dan buat goresan tentang ini”.

Kasus di mana seorang pemakai jas putih ini. Memeriksa sang wanita yang sedang memperjuangkan lahirnya satu nyawa di kandung badan harus mengalami sebuah tingkah sampah dari seorang yang pernah sumpah profesi. Tentu tidak semua yang berjas putih demikian adanya.

Pelecahan telah terjadi di berbagai daerah

Masalahnya kasus ini tidak hanya di Garut, di berbagai tempat banyak terjadi. Hanya saja banyak yang memilih bungkam takut tidak dipercaya atau mengada-ada untuk memfitnah dan pencemaran nama baik.

Mereka bungkam karena memang dunia selalu bisu untuk mereka yang dilecehkan. Dan menyedihkan wanita selalu saja jadi mangsa.

Aku murka bukan untuk semua pemilik jas putih ini. Kecewa ini merasuk kuat. Ya, mereka itu wanita selayaknya dimuliakan sebagaimana ibu.

Bukankah kita semua lahir dari rahim wanita? Lalu kenapa ini terjadi dari sebuah profesi yang kita “hormati”.

Suaran lantang untk mereka (korban)

Jika mereka bungkam dan tidak berani bersuara. Adakah hati kita tak sedih.

Aku mungkin terlalu naif dan seolah membenci jas putih. Dengan judul tulisan saya yang mencoba pelestkan kata sampah dengan huruf “A” diberi kurung.

Aku hanya ingin menyampaikan pesan bahwa tingkah biadab itu lebih hina dari sampah dan kotoran. Pelakunya tidak akan ku cela sama sekali tapi sifat buruknya yang mengundang caci maki hati.

Pelaku kita do’akan semoga mau bertobat dikemudian hari. Aamiin.

Tapi tetap saja permasalahan ini perlu disuarakan demi mencegah meluasnya korban. Kutukan dan caci maki adalah bentuk kepedulian.

Senerai Penutup: Mereka adalah Kita

Azan untuk sang bayi adalah teriakan sebuah kebenaran

Sekali lagi, suara mereka adalah suara kita. Mereka tidak sendirian, bayi yang mereka kandung sedang kita gemakan suara perlawanan.

Azan untuk sang bayi adalah teriakan untuk membela kebenaran. Siapa pun pelakunya kita tindak, kita cegah dengan tamparan terkeras.

Wahai para korban, wahai para ibu yang sedang berjuang. Kami di sini, kami bersuara, tulisan ini untuk kalian.

Jangan bersedih lagi. Kami berdiri tegak disini. Kami ada dan bersuara.

Salam,

Dsn. Guest House Griya Kenanga,

25 April 2025.

Persembanhan: Ruang kreasi media SISIPAGI. Untuk yang peduli penulis silahkan kunjungi laman berikut >>>>> PEDULI PENULIS

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.