Kerja Senyap dibalik Sunyinya Kata-Kata

Kerja Senyap dibalik Sunyinya Kata-Kata

SISIPAGI – Menuliskan untaian kata lalu diurai jadi paragraf yang menarik. Memanglah kerja panjang lagi senyap. Teruslah menulis!

Senyapnya pengagum kata-kata

Kerja senyap dan ragam tantangan di dalamnya. Saya ingin sematkan bahwa menulis adalah kerja senyap.

> Sesuatu yang panjang manfaatnya untuk cita-cita mulianya peradaban jangan diharapkan riuh gemuruh tepuk tangan. Tetaplah senyap dan bergerak tanpa henti. Menulislah!

Aksara yang diolah menjadi rangkaian kata-kata itu hari ini mulai sepi pengunjung. Medium utama yang dibaca “hanya” media sosial.

Hal di atas adalah fakta. Tak terelakan dan PR besar bagi penulis.

Yuk bangun rumah bagi Penulis

Negeri kita butuh penulis. Banyak diantara mereka terbuang begitu saja. Apalagi karya-karyanya, tidak dihargai boro-boro diborong.

“Dihargai gak perlu, mbok jangan dibajak”. Inilah rintihan hati para penulis.

Saya berani berujar dan mempertanggungjawbakan argumen. Bahwa angka bajakan buku karya penulis itu menyentuh angka 80% di Indonesia.

Hal di atas merupakan pengamatan nyata saya berkeliling dan belanja buku 15 tahun di Jogja, Jakarta, Balikpapan, Samarinda dan hampir seluruh kota besar dan kecil di Indonesia.

Sederhana saja jika ingin membangunkan rumah yang ramah bagi penulis. Berhentilah membeli buku bajakan!

Kerja mulia tapi royaltinya murah

Alasan terkuat saya tidak buru-buru menerbitkan buku. Mempertimbangkan aspek royalti terlalu kecil.

Tulisan ini jika dibaca oleh penerbit bisa jadi saya dimarahi bahkan blacklist tidak akan diterbitkan jika saya mengajukan draft buku. Gak masalah, setidaknya sebagai penulis ini sebuah kejujuran.

Tapi, memang sulit menaikan royalti penulis ditengah naiknya angka pajak. Dengar-dengar sudah menyentuh angka 12 persen ya? Eh serius nanya ini.

Kembali, lupakan sejenak pajak 12%. Begitulah nasib penulis dengan pekerjaan mulia tapi harus berhadapan dengan upah murah.

Bagaimana minat baca kita?

Terlalu basi rasanya mengutuk bahwa minat baca kita rendah. Tapi nyatanya kutukan ini semakin nyata rasanya.

Saya hanya ingin mengabarkan dalam satu keluarga besar dengan jumalah rata-rata sebut saja angka 50. Berdasar survey kecil-kecilan saya dalam budaya baca kita hanya ditemukan 1 orang bahkan banyak keluarga besar menduduki angka 0 alias tidak ada yang rutin atau sekedar hobi membaca.

Mencengangkan bukan. Ah lupakan saja ya, namanya juga survey kecil-kecilan tentu tidak memiliki validitas alias jauh dari kata benar.

Coba yuk disurvey kecil-kecilan juga. Siapa tau hasilnya beda dan makin tidak ada yang membaca buku hehehe.

Untuk Penulis maka ciptakan Pasar (pembaca)

Tidak ada pilihan lain. Kecanggihan robot penulis kita kenalnya AI (Artifisial Intelejen) semakin tak terkontrol.

Penulis yang orisinil bahkan mampu mencipatakan pasar alias pembacanya sendiri. Inilah penulis yang relevan dengan zaman.

Gak perlu kawatir apakah penulis akan mati. Bersahabat saja dengan teknologi yang ada.

Ini lebih penting. Ketimbang menyimpan rasa takut. Benar apa benar? Hehehe

Kerja senyap dan tetap adaptif

Kerja senyap untuk menghasilkan karya atau tulisan kreatif. Rasanya kita perlu bersahabat dengan teknologi yang ada.

Seperti lilin kecil. Memilih memberi terang bukan mengutuk gelap malam.

Kabar gelap ya kedatangan Ai. Banyak pekerjaan diambil alih olehnya termasuk profesi menulis.

Namun kabar baiknya kita (penulis) bisa bersahabat mesrah dengannya. Tulisan tentang bagaimana persahabatan antara penulis dan Ai ada baiknya kita simpan dulu ya.

Sampai jumpa pada goresan pena berikutnya. Salam.

Tebuireng, 21 Rajab 1446 H

Albar Rahman

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.