SISIPAGI – Kesedihan itu datang silih berganti tentang kabar literasi atau minat membaca generasi negeri ini. Terlebih kala banyak toko-toko buku legend yang besar di zamannya harus berguguran dengan kata lain gulung tikar. Ketika literasi mati dalam tanda kutip, mungkinkah hati masih peduli?
Kabar duka toko buku besar itu gulung tikar
Berseliweran fenomena tentang seramnya dunia literasi belakangan. Baru-baru saja ada kabar salah satu toko buku besar di Negri ini harus bangkrut dan tutup, entah apapun penyebabnya secara umum pandangan awam dan spekulasi kita toko buku besar ini tutup dan mati pasti dikarenakan menurunnya tingkat belanja buku masyarakat kita, berarti literasi membaca itu sangat menurun.
Saya pribadi sejak 2014 di Jogja hingga kini 2023 berarti menuju sewindu menahun di kota pelajar ini. Beberapa toko buku favorit dalam waktu singkat berubah jadi tempat penjualan sembako, yang umum dan sangat besar sebesar penerbitan dan penjualan buku nasional saja, bisa dibilang setengahnya jadi tempat penjualan alat musik dan olahraga. Jualan bukunya masih tapi jika diamati pengunjungnya tiap tahun pasti berkurang.
Kepedulian mendalam pada hidupnya literasi buku cetak
Ketika fenomena di atas terjadi, justra saya memilih untuk lebih intens membeli buku. Teman-teman dekat paham, ketika saya sok-sok’an puasa sunnah mereka sudah menebak pasti lagi belanja buku. Ya terserahlah puasa saya ini tercatat hanya untuk beli buku. Yang pasti ini bentuk kepedulian yang mendalam pada dunia literasi.
Tidak hanya membeli buku hingga 2019 mencoba berkintribusi kecil memplopori bedirinya perpustkaan kecil di Ponpes sederhana terletak di sebuah kampung Mlangi Jogja. Kisah ini sobat pena bisa membacanya di artikel saya sebelumnya berjudul, “Mimpi tentang Sejuta Perpustakaan Untuk Negri”.
Hal yang saya lakukan saban hari adalah menulis. Tentu jika terus-terusan mengutuk tentang matinya literasi, menulis adalah hal bodoh yang saya lakukan. Justru karena kepedulian, saya menyalakan lilin kecil untuk terus menulis, tanpa mempedulikan seluas apa dan seragam apapun temanya, goresan pena terus digores dengan harapan ini sebagai sumbangsih kecil untuk memancing daya baca.
Menggores pena untuk beragam isu
Tidak peduli beragam tema saya tuliskan yang terkesan tidak memiliki fokus pada bidang tertentu. Layaknya Jaen-Paul Satre penulis Prancis abad ke 20 itu banyak ditinggalkan pembaca karena ia sangat ragam dalam menulis, sebagai novelis, esais, penulis naskah drama, penulis biografi, filsuf, cendikiawan politik dan aktivis. Walau ditinggal banyak pembaca, Satre tetap menulis karena dia mencintai alam literasi.
Bedanya dengan Paul Sartre, dia tidak mengulas bola, sedang saya sesekali nulis soal bola hehehe. Mungkin gak semaniak dan sepopuler sekarang di zaman beliau. Isu perang dunia lebih populer ditulis olehnya.
Senerai penutup: Nurani baca buku sekaligus penulis amatiran
Demikianlah sebuah kepedulian pada alam literasi dari saya. Membeli buku, cita-cita sejuta perpustakaan, menjadi penulis amatiran diragam tema dari filsafat, politik, ekonomi, film hingga bola dan lainnya.
Rentetan semua ini dilakukan karena kecintaan pada dunia literasi di negri ini yang berada diambang kesedihan, semoga kelak negri ini memiliki kemajuan di literasi dan ilmu pengetahuan seperti yang terjadi di abad 16 zaman Baghdad dengan baitul hikmah-nya atau perpustakaan terbesar yang mengumpulkan semua cendikiawan di seluruh dunia.
Salam
Sekian goresan saya tentang peduli dan cita-cita akan literasi pada negri. Salam Literasi.
Saduran dari laman Highlight Kompasiana 2023.
Kilik, membaca tuntas, dan komentar. Sangat berarti untuk penulis/editor. Terimakasih. Tertanda Management SISIPAGI.
Leave a Reply