Tentang perjalanan panjang KH. Yusuf Hasyim. Prahara perjuangan untuk negri hingga semat gelar pahalawan nasional. Beliau dikenal dengan sebutan Pak Ud!
“Pak. Ud atau Kiai Yusuf Hasyim layak menyemat gelar pahlawan Nasional”
Fadli Zon, Mentri Kebudayaan RI 2024-2029
Seminar Buku Biografi Kiai Militer
Sebuah kehormatan mendapatkan ajakan sekaligus undangan dari Gus. Riza. Mentor saya dalam mengkurasi koran tua dan buku tua di Pesantren Tebuireng.
Beliau merupakan putra kandung dari KH. Yusuf Hasyim. Ya, ajakan nan bersahaja itu adalah mengikuti seminar bedah buku biografi KH. M. Yusuf Hasyim: Kiai Militer Pengawal Ideologi NKRI Berbasiskan Pesantren diselenggarakan di Pesantren Tebuireng.
Acara ini dihadiri langsung oleh penulisnya, Aguk Irawan, dan beberapa tokoh Tebuireng, Gubernur Jatim Bu Kofifah hingga mentri kebudayaan Pak Fadli Zon. Gedung Yusuf Hasyim lantai 3 Pesantren Tebuireng dilangsungkan seminar.
Penuh khidmat sambutan pembuka dari Pengasuh Pesantren Tebuireng, Kiai Abdul Hafidzh Mahfud, yang akrab disapa Gus Kikin. Dalam sambutannya, Gus Kikin mengenang Kiai Yusuf HasyIm.
Ujar Gus Kikin, Pak Ud sering bercerita tentang serangan PKI ke pondok pesantren, baik di Tebuireng maupun di Gontor. Bersama pasukan Siliwangiberhasil memukul mundur pasukan PKI.
Kenangan di atas bukan sekadar cerita lama. Melainkan bukti nyata perjuangan Pak Ud menjaga kedaulatan pesantren dan NKRI.
Tak lupa bu Kofifah sebagai tamu dalam seminar ini juga mengungkapkan ketika Pak Ud berhasil memukul mundur serangan PKI untuk membunuh kiai Gontor bersama pasukan siliwangi. Dari sini kita melihat adanya konektifitas kuat antara “Tebuireng-Gontor”.
KH.M Yusuf Hasyim Layak digelari Pahlawan Nasional RI
Anak kandung Pak Ud, Gus Irfan Yusuf kini menjabat sebagai kepala Badan Penyelenggara Haji juga bercerita. Tentang heroik penuh getar-getir perjuangan sang ayah memukul mundur PKI di madiun pada peristiwa 48 hingg 65.
Dengan nada penuh haru Gus Irfan mengata, “saya tau persis ayah tidak sama sekali ingin digelari pahlawan, beliau sepenuhnya berjuang untuk negri tanpa pamrih”. Berat beliau melanjutkan. Namun ini desakan banyak kiai maka proses pengajuan harus dilakukan.
Di sesi berikutnya, Menteri Budaya Fadli Zon memaparkan bagaimana Pak Ud berperan penting dalam memukul mundur PKI di masa-masa krusial. Saat Indonesia bersiap merdeka dan menghadapi agresi Belanda.
“Pak. Ud atau Kiai Yusuf Hasyim layak menyemat gelar pahlawan Nasional”. Tegas Fadli Zon menyuarakan dalam sambutannya. Secara personal mentri budaya kali ini mengenal dekat dan sering bertemu Pak Ud kala dulu masih menjadi aktivis kebudayaan dan sejarah sejak muda.
Aguk Irawan menegaskan semangat Pak Ud dalam menjaga keutuhan NKRI. Ia mengutip sebuah artikel yang ditulis oleh Pak Ud sendiri, “Islam dan Indonesia satu, tidak bisa dipisahkan.”
Artikel dan kutipannya menjadi bukti bahwa perjuangan Pak Ud bukan hanya di medan perang, tetapi juga dalam menjaga ideologi bangsa. Sekali lagi, Pak Ud memang layak digelari Pahlawan Nasional RI!
Kiai Tanpa Sorban, Tapi Penuh Perlawanan
Pak Ud dan seorang kyai beliau memilih “sorban” lain: laras senjata perjuangan. Saya mencoba menyematkan sorban laras senjata adalah pakain utamanya karena melihat sejarah panjang di dunia militer.
Lahir pada 3 Agustus 1929. KH. Yusuf Hasyim adalah putra bungsu dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan adik kandung KH. Wahid Hasyim (Mentri Agama pertama RI).
Meski berasal dari keluarga ulama besar, beliau menunjukkan bahwa menjadi kiai tak melulu tentang duduk di mimbar atau mengaji kitab kuning. Kadang, menjadi kiai berarti turun ke medan laga, memimpin laskar, dan menghadapi moncong senapan musuh.
Dari Pesantren ke Medan Perang
Pak Ud muda bukan tipe remaja yang betah di satu tempat. Sejak kecil, beliau berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Pernah nyantri di Pesantren Krapyak di bawah asuhan Kiai Ali Ma’sum, lalu melanjutkan ke Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
Di usia 16 tahun, saat remaja lain sibuk bermain layangan atau belajar membaca roman, Pak Ud malah bergabung dengan Laskar Hizbullah. Laskar ini bukan pasukan biasa; mereka adalah cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), didirikan oleh sang kakak, KH. Wahid Hasyim.
Hanya semangat yang menyala-nyala, senjata seadanya, dan tekad merdeka yang tak bisa ditawar. Begitulah kira-kira menggambarkan Pak Ud usia 16 tahun kala itu.
Resolusi Jihad: Saat Sorban Diganti Senapan
Sejarah mencatat peristiwa 22 Oktober 1945 sebagai momen lahirnya Resolusi Jihad. Fatwa penting dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang menyerukan kewajiban umat Islam untuk melawan penjajah.
Satu bulan kemudian, tepatnya 10 November 1945. KH. Yusuf Hasyim muda memimpin Laskar Hizbullah dalam pertempuran melawan agresi militer Belanda.
Bayangkan, remaja 16 tahun memimpin pasukan di tengah desing peluru dan ledakan granat. Tapi di situlah Pak Ud menemukan jati dirinya.
Beliau bukan hanya pewaris darah ulama besar, tetapi juga pejuang sejati. Tak heran jika 10 November kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Menghibahkan Masa Muda untuk Tanah Air
Pak Ud telah mengorbankan masa remajanya untuk perjuangan kemerdekaan. Saat banyak orang seusianya mengejar mimpi pribadi, beliau malah memilih jalan terjal penuh risiko.
Namun, perjuangan beliau tidak berhenti di medan perang. Di usia senja, Pak Ud tetap berkiprah untuk negeri.
Mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan dengan menjadi pengasuh pondok pesantren Tebuireng sekaligus menjadi tokoh nasional. Juga menjadi politikus untuk mengawal dinamika jalannya roda pemerintahan.
Bukti bahwa kecintaan pada negri dari seorang kiai ini begitu kuat. Pak Ud adalah kiai bersahaja tapi tapi cintanya untuk negeri begitu istimewa.
Senerai Penutup: Kiai Bersorbankan Laras Senjata
KH. Yusuf Hasyim bukan kiai biasa. Beliau adalah kiai bersorbankan laras senjata.
Kisah tentang beliau belum selesai. Masih banyak cerita yang bisa kita gali, tentang bagaimana beliau mendidik santri.
Tentang pandangan hidupnya, dan tentang filosofi sederhana yang beliau pegang teguh: bahwa hidup ini harus bermartabat, mengilhami diri pada nilai-nilai Islami tanpa memisahkan dengan nilai-nilai cinta untuk negri.
Salam hangat dari Griya Kenanga, Kwaron Jombang.

Sampai jumpa di kisah berikutnya!
Leave a Reply