SISIPAGI – Kita dan pujangga kata. Sebuah persembahan tulisan bagi kita yang selalu percaya bahwa kata itu memiliki arti dan bisa berubah wujud menjadi makna.
Sebelum kita memahami arti kata, Sebagian dari kita terkadang menganggap kata adalah hal yang biasa saja. Bahkan sebagian orang melihat kata hanya formalitas untuk sebuah interaksi-komunikas.
Nah, pujangga yang saya maksud dalam goresan h ini ialah kita. Ya, kita semua layak disematkan sebagai prajurit pujangga hingga menjadi panglima pujangga kata.
Pujangga itu adalah kita
Kita singkirkan dulu siapa itu pujangga, definisi dari para ahli. Tulisan ini hanya ingin mengajak kalian semua untuk bermain dengan kata. Lalu berayun-ayun seolah kita adalah pujangga kata juga.
Kenapa saya berani bersikap menyatakan sikap betapa kita semua adalah pujangga. Hanya satu alasan sebab kata adalah proses paling alami menyatu dalam diri kita khususnya sebagai manusia.
Saya selalu berfikir tentang misterinya kenapa dalam Islam Ketika Al-Quran diturun perintah pertama adalah Iqro’ alias perintah membaca. Padahal keadaan Jazairah Arab kala itu dalam kondisi Jahiliah para ulama menyebut zaman kebobrokan dan kebiadaban paling bengis dalam sejarah peradaban manusia.
Membaca diperintahkan karena kata-kata ternyata begitu penting. Tersirat pesan bahwa manusia itu pujangga baik pembawa syair keindahan, kebenaran risalah hingga dengan kata manusia bisa bermantra baik sebagai dukun dengan jampinya hingga anak-anak kecil dalam candaan jenakanya.
Manusia itu mahluk Kata-Kata
Dari alami kita mahluk berbahasa dan melahirkan kata-kata yang begitu ragamnya. Kemudian misterinya perintah membaca, kesemua ini menandakan manusia perlu kata-kata.
Bahkan diabanyak kesempatan kita selalu familiar dengan ungkapan kata atau ucapan adalah doa. Sebagaimana Stehie Kleden-Beetz dalam bukunya Merajut Kata-Kata menganggap kata adalah sesuatu yang sakral.
Candaan kata-kata jadi kenyataan
Doa sekaligus misteri bahwa kata bisa terwujud kapan pun setelah manusia mengucapkannya. Saya teringat ucapan hari-hari dan momentum dalam candaan bersama teman-teman saat peneltian di Pesantren Tebuireng, Jombang seringkali berkata akan menikahi gadis Jombang.
Singkatnya, suatu kesempatan menyodorkan tawaran dan meminta kata setuju dari orang untuk menikahi wanita yang bekerja di lingkungan santri. Kejadian, kata dalam candaan itu.
Orang tua tidak menolak sama sekali padahal secara jarak tempuh untuk lamaran itu sangatlah jauh. Semoga Allah mudahkan hajat baik dari kata-kata yang sering terucap ini.
Akhirnya saya dan calon sepakat untuk sama-sama menjaga nilai-nilai santri yang ada, santri itu kata Gus Mus tidak harus lulusan pondok. Jika nilai dan akhlak santri dilaksanakan dengan baik maka layak juga disebut santri tegas Gus Mus.
Panglima Kata
Sejenak dari membicarakan santri mari kita menilisik lebih jauh tentang penulis. Di atas tentang romansa santri yang berjalan manis, tak ada salahnya kita intip asmara penulis disebut tragis tapi menyimpan hikmah tersendiri.
Kisah seorang penulis kali ini adalah datang dari sang pujangga kata. Ya, sebagian diantara kalian bisa saja tidak asing dengan nama Aan Mansyur.
Pujangga kata di atas dengan kisah tragis cintanya akhirnya berhasil membuat buku puisi terlaris kala itu. Buku puisi itu berjudul, Tidak ada New York hari ini.
Buku puisi tersebut laris dipasaran, lalu menjadi produk sineas dalam negri yang laku keras pada eranya. “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)”, sebuah filem adaptasi dari puisi sang pujangga Aan Mansyur.
Film AADC setidaknya bagi saya pribadi ini sebuah karya terbaik tentang kata-kata berbalut cinta. Hikmah besar dari kisah tragis penulis ini tentang dendam cinta tapi dibalas dengan karya, rakitan kata-kata sang Panglima Pujangga Kata.
Sebuta Saja: Pujangga kata itu kita
Di awal goresan saya membawa arah narasi bahwa kita semua adalah pujangga kata. Hanya saja ada yang masih menjadi prajurit kata sebagaiman santri yang merayu orang tuanya untuk wanitanya atau menjadi panglima pujangga kata sebagaimana penulis dengan puisi tragis cinta berubah hikmah dan berkah.
Apapun itu pujangga kata itu adalah kita. Karena sejatinya manusia adalah mahluk kata-kata. Semoga tidak berdusta dengan kata melainkan jujur lalu senantiasa berdoa hingga berkarya dengan kata-kata.
Sampai jumpa di utas kata-kata berikutnya. Salam dari relung cinta diujung “sanubari” jemari.
Pelabuhan Semayang Balikpapan 12 Rabiul Awwal 1445 H
Leave a Reply