Albar Rahman – Tentang sebuah nasihat untuk diri sendiri yang ngakunya penulis dan pembaca. Padahal masih jauh untuk sematan diri ini penulis apalagi pembaca yang baik.
“Jadilah engkau guru untuk diri sendiri, bukan untuk manusia apatah lagi menggurui dengan cara tak manusiawi.”
Griya Kenanga, 4 Februari 2025
Selamat Membaca!
Tulisan kali ini adalah sebuah refleksi untuk diri sendiri. Mencoba memaknai ulang perjalanan yang mengaku penulis dan pembaca ini.
Harapannya tulisan ini menampar diri sendiri. Jika memberi manfaat bagi pembaca maka itu hal yang patut saya syukuri. Selamat membaca!
Guru untuk Diri Sendiri
Menulis bukan tentang menggurui, apalagi merasa paling tahu. Jika tulisan ini terasa seperti petuah, percayalah, ini lebih seperti tamparan yang saya lemparkan ke wajah sendiri.
Kita sering kali terjebak dalam ilusi: seolah-olah dengan merangkai kata, kita sudah paham segalanya. Padahal, tulisan pertama yang harus kita baca adalah diri sendiri—paragraf-paragraf penuh typo yang kita tutupi dengan ego.
“Jadilah engkau guru untuk diri sendiri, bukan untuk manusia apatah lagi, tidak perlu menggurui dengan cara tak manusiawi.” Kalimat itu seperti gema yang sering saya abaikan.
Kita rajin mengisi kepala orang lain dengan nasihat, tapi malas mendengar suara hati sendiri. Ibarat mengisi gelas orang lain, sementara gelas kita sendiri retak dan kosong. Lucu, ya?
Antara Buku dan Layar
Pernahkah kita mencoba puasa media sosial? Saya pernah. Hampir setahun tanpa scroll, tanpa notifikasi.
Rasanya seperti keluar dari bioskop gelap ke cahaya matahari yang menyilaukan—aneh, tapi menenangkan. Awalnya, saya ingin mandi di lautan tinta, berselimutkan kertas, hangat dalam pelukan kata-kata. Tapi apa daya, dunia sudah terlalu panas, membakar niat-niat yang semula tulus.
Aneh memang. Kita lebih betah menatap layar, menelusuri potongan hidup orang lain, daripada tenggelam dalam halaman buku yang diam tapi bercerita.
Mungkin karena buku tak memberimu dopamine instan seperti media sosial. Tapi justru di situlah letak keindahannya: buku mengajarkan kita bersabar, merenung, bukan sekadar menunggu.
Menulis di Tengah Realitas Pahit
Banyak penulis mati bukan karena kehabisan ide, tapi karena honor yang bahkan tak cukup untuk membeli secangkir kopi. Ironis, ya? Kita menulis dari hati, tapi harus menelan kenyataan pahit di dompet.
Kadang, honoris causa pun terasa seperti penghargaan yang lebih berat di “honor” ketimbang “causa”-nya. Eh, maaf, kebablasan. Hehe. Tidak bermaksud sinis soal fenomena penghargaan ini, biar saja itu urusan pemberi gelar dan penerimanya.
Menulis bukan soal upah. Bukan berarti kita harus rela lapar, tentu saja tidak.
Tapi, ada kepuasan yang tak bisa dihitung dengan nominal. Saat kata-kata kita menemukan rumah di hati orang lain, bukankah itu semacam honor juga? Honor yang tak bisa dicairkan di bank, tapi mengalir hangat di dada.
Jangan Pernah Membaca
Buku adalah penjara seumur hidup bagi penikmatnya. Tapi ini penjara yang aneh. Semakin lama kau terkurung di dalamnya, semakin bebas pikiranmu.
Buku mengubah kita tanpa kita sadari. Ia menyusup pelan-pelan, mengendap di sudut kepala, lalu tiba-tiba kita merasa berbeda.
Itulah kenapa membaca bisa jadi menakutkan. Karena setelahnya, kau tak bisa pura-pura tidak tahu. Dan merasa bodoh karena masih banyak yang belum diketahui pula.
Senerai Penutup
Tulisan ini bukan nasihat. Ini hanyalah catatan dari seseorang yang lebih sering berdebat dengan dirinya sendiri daripada dengan orang lain.
Menulis adalah cara saya berdamai, meski kadang justru membuat saya lebih gelisah. Tapi mungkin di situlah seni menulis: bukan untuk menemukan jawaban, tapi untuk merawat pertanyaan.
Untuk para penulis: teruslah menulis, meski dunia kadang tak peduli. Dan untuk para pembaca: teruslah membaca, meski kebenaran kadang membuatmu tak nyaman.
Salam hangat,
Griya Kenanga, Kwron, Jombang
Leave a Reply