Padamu kata-kata aku Berkarya

Padamu kata-kata aku Berkarya
by. adrianna geo

Sebuah persembahan pada kata-kata. Bahwa karya lewat tinta patut diperjuangkan lalu dipertahankan. Semangat!

> “Sebab kata yang didulang saban hari adalah mutiara. Ya, mutiara hikmah, cinta, kekayaan hingga doa”.

Tebuireng, 13 Rajab 1446 H

Menulis sejatinya tidak hanya aktivitas formal, baku dan untuk kepentingan administrasi laporan saja. Ia sejatinya bisa dijelmakan sebaga sebuah keindahan karya.

Berkarya lewat tinta. Lalu mengahsilkan keindahan. Inilah karya seni melalui kata dan tinta.

Satu hal yang pasti menulis dibutuhkan kerjnihan berpikir. Hamka menyebutkan, “seni yang bersumber pada kehalusan perasaan sekalipun, tidaklah dapat diciptakan jika pikiran tidak beres”.

Menulis sebagai seni yang paling utama adalah kejernihan berpikir. Selain memang kahalusuan perasaan alias tajamnya intuisi adalah nilai tambah tersendiri.

Pikiran Jernih di alam karya

Selain kedalaman, kejernihan berpikir juga dibutuhkan dalam menulis. Apatah lagi jika kita berani menyebut alam seni menulis.

Melatih kejernihan berpikir sangat mutlak dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari bahkan. Menulis mampu menjadi medium yang baik untuk melatih kejernihan berpikir.

Karya selalu lahir dari kejernihan pikiran. Untuk itu menjernihkan karya sejak dalam pikiran adalah “koin” termahal yang pernah ada.

Seutas doa untuk kata-kata

Saya pernah mengalami kebuntuan dalam menulis. Sebut saja dan kita bulatkan selama 1 tahun. Ya, hampir 11 bulan lamanya tidak menulis.

Apa yang terjadi? Saya mengalami tingkat stress yang tinggi. Ibadah pun terasa tidak nikmat lagi.

Akhirnya yang saya lakukan adalah berdoa dan meminta jalan keluar agar bisa menulis lagi. Tentu melahap banyak buku. Eh tak kunjung jua terkabulkan bisa berkarya lagi.

Ternyata setelah menikah di penghujung tahun ini. Baru saya bisa menulis lagi, ada doa istri bahkan ridho’ dari bunda (ibu) utas doa mereka terkabul, bukan doa saya.

Karya yang saya tuliskan ialah doa panjang orang yang terkasih. Terlalu sombong jika saya bisa menulis dan berkarya tanpa utas doa-doa mereka. Nyatanya fakum hampir setahun lamanya karena merasa bisa berkarya tanpa utas doa. Innalillah.

Berdiri dan berkarya lagi

Kisah di atas mengajarkan kita banyak hal. Pertama, tentang utas doa pastinya. Kedua, bagaimana kita bisa bangkit untuk berkarya lagi juga sama pentingnya.

Pernah tertegun dengan kisah seorang kawan yang mengalami kecelakaan berat. Kedua tangannya hilang dan dia hanya memiliki dua jempol kaki untuk menulis.

Apa yang terjadi, dengan dua jempol kakinya yang tersisa itu tiap tahunnya dia konsisten menerbitkan buku. Dari peristiwa kecelakaan itu dia memilih bangkit dan berkarya lagi.

Begitulah karya, alamnya terbuka

Karya itu menembus ruang dan waktu. Kapanpun dan dimanapun bahkan dalam kondisi apapun kita bisa bermain di alam karya.

Menulislah! “Padamu kata-kata aku berkarya”. Akan jadi sebuah coretan sebagai bakti. Semoga ia menjelma jadi buku berjelid-jilid.

Saya percaya menjadi pengabdi kata-kata dia alam karya. Sumber alias mata airnya tidak akan pernah habis. Kata semakin didulang akan semakin mencipatakan mata air baru, lahirlah buku baru, samangat membaca hingga karya-karya terbaik.

Senerai Penutup: sutas doa di alam karya kata-kata

Izin, ada utas doa yang ingin saya langitkan. Semoga kita mampu berkarya di alam kata-kata atau apapun bentuk karya yang lain.

Pada hidup yang sekali ini. Kita mampu memberi arti, dan itu melalui warisan tulisan yang ditinggalkan. Aaamiiin.

Salam.

Masjid Agung Baitul Mukminin Jombang, 14 Rajab 1446 H.

Albar Rahman

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.