Pesan sang Rektor: Wisudawan jangan Mati Nurani

Pesan sang Rektor: Wisudawan jangan Mati Nurani

Sisipagi.com – Beberapa waktu lalu, tepat 28 Januari 2024. Wisuda di selenggarakan oleh kampus tercinta dan gedung Prof. Kahar Muzakir yang melegenda itu jadi saksi bisunya. Gedung sejak lama jadi tempat diselenggarakan wisuda oleh para wisudawan Universiatas Islam Indonesia.

Saya dengan seksama mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh pak rektor, Prof. Fatul Wahid yang sangat akrab saya menyapa sehari-sehari prof itu selalu kami nanti petuahnya baik lewat tulisan di rubrik pojok rektor atau di manapun kala acara resmi kampus diselenggarakan termasuk sambutan hangat untuk para wisudawan kali ini.

Membuka sambutan dengan memantik nurani Wisudawan

Membuka sambutannya Prof. Fatul Wahid menyampaikan sebuah cerita mem yang diambil dari media sosial. Ada dua gambar yang sama namun memiliki pesan yang berbeda.

Gambar pertama menceritakan seorang ibu yang menasihati anaknya kala melihat seorang pemulung. Nasihat sang ibu kepada anaknya, “nak lihatlah pemulung itu, belajarlah yang sungguh-sungguh! Lihat pemulung itu, agar kelak engkau tidak akan menjadi seperti pemulung itu.

Lalu pada gambar ke dua menceritakan hal yang sama dengan pesan berbeda dari sang ibu kepada anaknya, “nak lihat pemulung itu, belajarlah sungguh-sungguh agar kalak nanti kamu bisa membantu orang-orang seperti itu (pemulung).

Dua pesan di atas sama-sama baik. Hanya saja yang membedakannya ada pada pesen ke dua, bahwa menjadi penolong adalah problem solver yang dicita-citakan sejak dalam nurani.

Pak Rektor memahami ketimpangan

Berbicara ketimpangan artinya kita melihat lebih jauh tentang kemiskinan dan angka orang yang taraf hidupnya masih di bawah alias belum hidup layak.

Data pun disampaikan pak rektor, porsi masyarakat miskin kita menuju 10% artinya hampir setara dengan 26 juta penduduk. Hal yang mencengangkan lagi di Papua angka kemiskinan mencapai 26,03%.

Pak rektor pun mengamati salah satu faktor diantara sekian banyak faktor kemiskinan ialah terbatasnya akses pendidikan yang belum memadai dan merata.

Saya sepakat bahwa ketimpangan itu sangat erat hubungannya dengan pendidikan. Manusia terdidik akan selalu punya sejuta cara agar memilh hidup layak. Tentu hal demikian adalah dengan arti terdidik sesungguhnya, tidak sebatas belajar di kampus. Terdidik itu belajar sepanjang waktu baik yang menyandang gelar sarjana maupun tidak.

Wisudawan dan matinya nurani

Tahun 2023 sebuah sajian data yang menarik perhatian pak rektor dan beliau paparkan dalam sambutannya. Pemuda usia kuliah berkesempatan melanjutkan kuliah hanya 31,19% dan ada 68,81% alias sekitar 17 juta pemuda di Indonesia tidak mendapatkan kesempatan kuliah tahun tersebut.

Bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya dan mendatang. Angka kemiskinan meningkat dengan demikan banyak anak-anak putus sekolah begitupun pemuda semakin banyak tidak berkesempatan kuliah.

Sialnya, ujar pak rektor sembari memaparkan temuan penelitian yang di lakukan pada 15 negara. Tahun 2021 lalu McKinesy melaporkan 18.000 di belasan negara tersebut ditemukan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi rendah dengan empati para sarjanawan.

Temuan di atas menunjukan semakin tinggi pendidikan ternyata banyak juga yang tidak memilik empati. Saya spontan seperti reaksi pak rektor ini berujar sial dan bergumam kesal tak patut.

Pendidikan tinggi kemana empati dicari?

Semakin tinggi pendidikan kita seharusnya memiliki empati yang tinggi pula. Hal ini penting bagi wisudawan yang menyandang gelar sarjananya. Mampukah ia menjadi penolong kala belajar sebagai mahasiswa mereka sudah menyandang gelar “maha” kemudian sematan sarjana ada dipundak mereka.

Pak rektor mengajak kita semua untuk melihat ketimpangan dengan kacamata nurani. Banyak yang mati nurani. Belakangan ini terjadi. Ketika data menunjukan 65% sarjana itu sebagian besar telah mati nurani.

Kenapa hal ini bisa terjadi? ini adalah lonceng penanda bahwa semakin berpendidikan kita maka semakin memiliki arogansi yang tak disadari. Hingga nurani pun mati! Tentu ini tamparan keras dan pengingat bagi semua.

Renungan sang Wisudawan

Gelar akedemik sebagai sarjana yang momen merayakan menyandang sematan wisudawan. Hari di mana pak rektor memberi sambutan hangat itu, saya mulai merenungi arti wisudawan itu sendiri.

Gelar sarjana ternyata tidaklah memiliki tanggung jawab yang mudah pabila direnungi secara luhur. Sejak dahulu para pemikir siapapun jika ia berkarya maka kehormatan layaknya gelar sarjana patut disematkan untuknya layaknya Adam Malik seorang mentri luar negri masa orde baru yang sekolahnya hanya sampai di bangku sekolah dasar.

Beliau memiliki kecemerlangan dan dampak bagi negri melebihi para sarjanawan. Bisa beragam bahasa dan berdiplomasi dengan baik dengan banyak negara.

Artinya sarjana terkadang hanya jadi simbol gelar. Berapa banyak sebutan sarjana “nganggur” dan ini fakta.

Menjadi sarjana seharusnya berdampak. Bahkan bapak rektor dalam sambutannya mewanti-mewanti untuk bisa membantu dengan hati nurani. Pesan ini begitu luhur.

Untaian penutup: mewujudkan bantuan dengan ragam peran wisudawan

Pak rektor, diakhir tulisan ini izin kami dalam hal ini saya mewakili wisudawan lainnya. Untuk meresapi petuah indah yang diuntaikan.

Bantuan bisa mewujud dalam banyak bentuk, termasuk kebijakan negara atau lembaga, gerakan sosial, maupun aksi individual.

Prof. Fatul Wahid, 2024

Pesan ini merasuk tajam dalam sanubari. Sang rektor seolah meminta kami wisudawan untuk mengulurkan tangan. Baik sebagai individu hingga kelak memiliki kuasa.

Akhirnya saya pun paham dan ingin menggores kata sebagai senarai penutup. Bahwa kala nurani telah mati, untuk apa sematan wisudawan dan kehormatan? Sebaiknya kita kubur sendiri jiwa hingga raga yang tak bernurani ini!

~~~

Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan memberikan tip buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: tip dan jajan penulis , terimakasih.

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.