SISIPAGI – Sastra dan jurnalistik, menilik dan menelaah definisi sasatra yang sifatnya fiksi dan kadang data tak perlu diolah sedemikian rupa. Sedang jurnlistik syarat akan data kemudian diolah jadi pemberitian relevan lagi aktual.
Ragkaian kalimat di atas terlalu serius dan kaku. Mari kita bahas dengan cara “ngopi” santai dan tidak perlu mengikuti kaidah baku yang ada. Anggap saja ini clotehan seorang kawan yang lagi asyik ngopi sambil mendiskusikan banyak hal.
Sastra kopinya sedang jurnalistik gulanya
Kali ini dengan menjadikan sasatra sebagai kopi dan dunia jurnalistik adalah gulanya. Hanyalah sebuah usaha untuk mengawinkan keduanya.
Teman-teman bisa saja berbeda pendapat, atau memiliki pandangan yang berbeda. Saya hanya memaparkan pandangan berbeda dan membangun tesis baru.
Kenapa analoginya kopi dan campurannya gula, ini karena kebutahan pasar saja dimana masyarakat kita memiliki kebiasaan ngopi ya pakai gula. Padahal, saya melihat kopi yang sehat ya tanpa gula.
Nah, agar sastra tidak mengalami sakit, terpuruk, sepi peminat. Saya menawarkan dunia jurnalistik jadi gula pemanis untuk merangsang pembacanya lagi.
Pram dan Hamka: Sastrawan rasa Jurnalis
Diantara banyak sastrwan kenamaan negri ini dari mas ke mas hingga kini. Ada dua sastrawan yang sangat saya kagumi. Hamka dengan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan Pram melalui Bumi Manusia.
Membaca dua karya sastra dengan dua penulis yang produktif di masanya ini. Serasa membaca novel yang muatan jurnalistiknya juga kuat. Fakta sejarah dipaparkan dengan aktual lagi relevan.
Pram berhasil menampilkan fakta sejarah yang relevan dengan menampilak sosok Minke dan pergulatan hukum Nyai Ontosoroh yang menuntu status kewarga negeraan Anneliss Malemma yang sangat mencinta Minke dan bumi negeri ibunya walau iya seorang berketurunan Belanda alias blasteran.
Anneliss dihakimi dan tidak dibenarkan untuk tinggal serta menikah dengan pribumi. Ia diharuskan ke Belanda kala itu namun Nyai Ontosoroh melawannya dengan jalur hukum. Pram berhasil memadu madankan sastra dan pendekatan laporan jurnalistik yang apik.
Tak kalah Hamka juga berhasil menangkap pristiwa laporan tenggelamnya kapal Van der Wijk jadi novel sejarah romansa bernuansa sastra. Hingga kini karya sastra ini masih relevan.
Pram dan Hamka jadi panutan saya dalam memaknai jiwa kepenulisan. Baik di dunia jurnalistik hingga alam sastra.
Jiwa jurnalistik untuk penulis
Menjadi seorang penulis atau hanya sekedar untuk menulis sebagai sebuah aktivitas akademis maupun non akedemis. Semua orang berhak melakukan aktivitas intelektual satu ini. Artinya semua bisa jadi penulis dengan versinya masing-masing.
Namun satu hal yang luput bahwa menulis mensyaratkan satu hal paling fundamental menurut saya yaitu jiwa jurnalistik. Jiwa yang selalu ingin melihat hal-hal faktual lalu nantinya menjadikannya sebuah informasi.
Sebagai penulis hal ini diperlukan. Sejatinya hal demikian tidak hanya dimiliki oleh seorang penulis bahkan pemimpin sekalipun memerlukan jiwa jurnalistik. Oleh HOS Tjokroaminoto mensyaratkan untuk mejadi pemimpin besar maka menulislah seperti jurnalis dan berbicaralah bagai orator.
Menjadi Sastrawan: Selami Jurnalistik!
Kala HOS Tjokroaminoto mensyaratkan pemimpin besar sebaiknya menulis layaknya jurnalis maka saya ingin mensyaratkan bahwa ketika ingin menjadi sastrawan besar maka menulislah layaknya jurnalis pula.
Jurnalis di alam jurnalistiknya bisa dipastikan saban hari menggores pena. Mencari data, menggali informasi dan hal lainnya. Kesemuanya menurut saya alam pertarungan yang juga tak kalah penting dimiliki oleh sastrwan lagi penulis secara umum.
Akhirnya sastra dan alam jurnalistik tidak bisa terpisahkan oleh ruang dan waktu. Keduanya memiliki kesamaan nafas. Kita semua menyebutnya nafas pena.
Salam
>>>
* Samarinda, FIB Universitas Mulawarman, 25/09/2024
>>>
Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan kontribusi buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: kontribusi dunia kepenulisan , terimakasih.
>>>
Siap pak terimakasih ilmunya
sama2 semangat!