Mari kita mulai kisah subuh
Beberapa hari ini saya dan istri membuat sebuah nota kesepakatan kerjasama. Apa bentuk kersamanya, emang bisa suami-istri se-serius itu?
Seblum menjawab pertanyaan di atas. Mari kita bahas prihal subuh dan susahnya bangun di subuh hari.
Untuk yang morning person singkir dulu ya. Kisah ini bisa jadi khusus bagi mereka yang selalu menggabung shalat subuh dan duha alias subha hehehe mereka yang sukanya kesiangan.
Jujur saja bahkan saat kuliah dan malamnya nyantri di pondok kala di Jogja dulu. Kebiasaan memulai hari pada malam hari adalah sebuah habbit yang melekat kuat.
Imbasnya kesulitan bangun subuh. Naasnya istri saya kaget lihat potongan santri seperti saya. Singkatnya, kami pun mulai mendiskusikan masalah serius ini.
Kesepakatan Kerjasama tentang bangun subuh
Akhirnya, kami berdua sepakat untuk membuat program khusus bagi diri saya yang kesulitan bangun subuh. Program sekaligus nota kesepakatan kerjasama.
Selama 40 hari saya harus bangun dan berjamaah ke langgar atau musollah terdekat. Dan apa yang terjadi setiap subuh selama 3 hari ini saya harus melawan “penggoda” sejati yang sudah kurang lebih belasan tahun bertengger di mata merayu untuk tetap tidur kala azan subuh berkumandang.
Nota kerjasama ini aslinya tidak penting saya ceritakan, maafkan. Ada kisah subuh yang menarik dalam perjalanan program ini.
Sebuah hidangan subuh yang menggairahkan
Namun di subuh yang 3 kali ini ada yang berbeda. Sang ratu cantik itu (istri) harus mengalami bau bawang dengan menguleknya, ditambah pedas mata setelah ulekan.
Cabai rawit dan taburan kecap manis dengan brand nomer satu itu tak luput jadi bahan penyedap. Ya, garam serta penyedap lainnya tak ketinggalan.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Minyak di wajan dengan kompor gas portable mungil milik kami itu dipanaskan dengan minyak goreng secukupnya untuk menggoreng tempe yang sudah diiris dengan ukuran pas bahkan renyah ketika disantap nantinya.
Sang ratu cantik ternyata sudah berjibaku sejak pukul 3 dini hari. Menyambut subuh di program subuh ke 3 kami.
Hidangan nikmat itu: Tempe Sambel Kecap
“Mas, mas, mas gak sahur tah?”. Lembut sang ratu cantik itu membangunkan si pemalas satu itu.
Saya masih malas-malasan dan enggan untuk beranjak. Sebab suara azan subuh belum terdengar hanya saja suara ngaji menyambut subuh di berbagai surau dan masjid.
Namun satu yang membuat saya tergugah dan beranjak dari pembaringan. Aroma tempe dan sambel kecapnya begitu kuat menghinggap di ruang aroma penangkap rasa sedap ini hehehe.
Akhirnya saya bangun dan berkata, “yuk”. Terjadilah kehangatan makan sahur yang maha dahsyat itu.
Senerai Penutup: Terimakasih Ratu Cantik
Hidangan nikmat di subuh kali ini. Sejatinya tidak bisa diungkapan dengan kata-kata bahkan dituliskan dengan satu pargraf indah sekalipun.
Karena menggambarkannya adalah sebuah keindahan tak tertandingi bahkan kenikmatan surgawi itu terasa nyata pada peristiwa subuh kala itu. Sebuah maha karya hidangan tempe sambel kecap itu nikmat sekali.
Karya dari ratu cantik yang selalu saya sebut nyonya dihadapan orang-orang. Nyonya adalah kebiasaan sebagian masyarakat Jombang mengistilahkan istri mereka dalam bahasa pergaulan yang santai.
Untuk tulisan sederhana ini saya hanya ingin ucap syukur dan makasih buat nyonya pada hidangan subuh luar biasa itu. Semoga banyak juga nyonya alias istri-istri yang menghidangkan hal sederhana namun istimewa bagi suami.
Sejatinya tidak ada hidangan sederhana bagi suami yang selalu melihat keistimewaan sang istri. Salam.
Kayangan, Plantkringangan 27 Rajab 1446 H
Leave a Reply