Sebuah perjalanan penelitian ada kisah kuliner dan secangkir kopi yang menghangatkan. Semoga sajian tulisan sederhana ini menularkan kehangatan dan kebahagian yang sama.
Warkop KPK Cukir: Saksi Bisu Kebersamaan
Mengawali sore terakhir di Jombang, Warkop KPK Cukir menjadi tempat penuh kenangan. Tiap hari rasanya seperti mengunjungi kekasih, dengan secangkir kopi sebagai pengikat kebersamaan. Kali ini, tiwul dengan taburan kelapa dan gula merah menemani—sajian yang sederhana namun penuh cita rasa.
Bercampur sedih juga bahagia. Sebulan lamanya melakukan penelitian di sini.
Warkop kopi KPK Cukir ini jadi saksi bisu betapa saya si paling kopi hehehehe selalu mengapelinya hampir saban hari. Bak masih ranumnya orang dimabuk asmara saban hari rasanya ingin bertemu.
Kali ini sajian di warkop sederhana nan melegenda di jombang ini adalah tiwul yang ditaburi parutan kelapa. Dengan balutan kering manisnya gula merah.
Obrolan Hangat Sore itu
Di atas tentu maknyus bagi lidah “ndeso” seperti saya ini.Lidah ndeso ini diragukan oleh ibu penjaga warkopya yang biasa disapa buk Mar. katanya, “walah mas ini makanan ndeso lo”. Dalam hati saya nyeletuk, “Ibu gak tau saja kalau saya adalah anak ndeso ditambah anak terpencil di pedalaman Kalimantan sana.
Lidah ini sangat teruji ndesonya”.Ada bapak-bapak, malah terheran-heran melihat saya yang begitu lahap menyatap sebongkah tiwul ini. Tanya bapak-bapak di warkop, “lidahnya apa cocok sama tiwul”. Bapak ini mengenal saya juga asalnya bukan Jawa karena pernah berkenalan sepintas lalu.
Dengan cair membuat suasana lebih hidup saya jawab, “lidah saya sudah sangat jawa pak karena terbiasa dekat sama perempuan Jawa hehehe”. Sontak sebagian bapak-bapak warkop itu tertawa ria.
Sekilas Obrolin Mbah Wahid
Suasana semakin cair. Yang kagetnya ketika saya di tanya kuliahnya di mana maka saya jawab lagi, “UII Joga” singkat saya bergumam sembari memberi senyum. Mereka bilang, “wah kampus mbah Wahid Hasyim ya?.
Saya kaget dan dalam hati nyeletuk. “Saya sedang neliti mbah Wahid Hasyim di sini, mentakzimi beliau sebagai salah satu tokoh pendiri UII”. Obrolan pun semakin cair.
Sore yang ditutup dengan terbenamnya matahari ditambah alunan azan magrib yang memanggil. Semakin hangat dengan secangkir kopi pahit di gelas kecil orang-orang sekitar menyebutnya cingkir maka saya menulisnya secingkir kopi. Sontak serentak menunaikan shalat magrib berjamaah.
Perjalanan Penelitia dan seutas kenangan di Tebuireng
Sore terakhir di Jombang. Sebulan lamanya meneliti mbah Wahid Hasyim di temani bersahajanya masyarakat sini.
Seutas tulisan sederhana ini tentu tidak akan mewakili gemuruh syukur di dada.Semoga di lain waktu bisa kembali ke kota ini. Ke pesantren mbah Wahid Hasyim, pesantren Tebuireng tercinta ini.
Sebulan lebih lamanya. Tapi rasanya menuai sejuta kenangan. Santri-santri bersahaja, para kiyai dan keturunan ulama yang akrab kita sapa gus.
Adalah pengamatan dan penglihatan mahal yang menjadi bekal berharga saya bawa pulang, baik kembali ke Jogja pun ke Kalimantan kelak.
Senerai Penutup: Doa baik untuk santri negeri ini
Gema azan maghrib dimana matahari mulai terbenam. Anak muda zaman sekarang menyebutnya senja.
Turun dan terbenam di peraduan menyambut malam. Maka izinkan tulisan sederhana ini ditutup dengan ucapa syukur dan seutas doa.
Terimakasih Jombang, juga terimakasih banyak keluarga Pesantren Tebuireng yang berlokasikan di Cukir. Ucapan dan lantunan doa kian terpatri di hati semoga santri kian berkah hingga memberkahi negri tercinta ini.
Salam.
Saduran. Tulisan ini pernah dimuat sebagai artikel pilihan media kompasiana pada 22 Juli 2023
Leave a Reply