SISIPAGI – Untuk Kesehatan Mental, Menulislah! Goresan tokoh kali ini datang dari penulis produktif Muhidin M Dahlan. Membahas tentang dunuia kepenulisan untuk kesehatan mental. Tulisan ini hasil kurasi dari buku yang ditulis penulisnya dengan judul Para Penggila Buku, Seratus Catatan di Balik Buku yang terbit pada tahun 2009. Selamat Menikmati!
Agar Jiwa Sehat, Menulislah
Oleh: Muhidin M Dahlan
Lebih dari semua hal, menulis (yang rutin dan sepenuh sehatan jiwa yang tertekan. Janice K Kiecolt, seorang ahli psikologi klinis dan suaminya, Ronald Glaser, seorang ahli imunilogi di Universitas Ohio AS, membuka sebuah penelitian di jalur baru bahwa pengalaman yang sangat menekan dan mencekam berpengaruh sangat signifikan merusak sistem kekebalan tubuh.
Terapi Kesehatan Mental
Dan menulis, tulis James P. Panebakker (2002), adalah salah satu obat menurunkan tensi ketegangan itu. Dalam penelitiannya Panebakker mengungkap bahwa 80 per- sen subjek yang diteliti menyatakan positif atas terapi mental dengan menulis.
Awalnya memang menyakitkan. Tapi seiring dengan jalannya waktu, pembuangan perasaan lewat kegiatan menulis perlahan-lahan mengendurkan ketegangan urat syaraf dan berangsur-angsur menyembuhkan ingatan luka masa lalu.
Ya, menulis bisa memperbaiki kesehatan mental dan fisik anak-anak sekolah, penderita penyakit-penyakit serius seperti kanker atau radang, mahasiswa yang stres akibat beban kuliah yang menumpuk dan berat, narapidana kelas A, para ibu baru dan korban kekerasan, atau mereka yang di PHK dari tempat kerjanya.
Memperbaiki Kesehatan Mental
Selain keuntungan secara kesehatan, terungkap pula bahwa menulis bisa mengurangi kecemasan dan depresi. Bahkan salah seorang subjek penelitian Panebakker mengakui bahwa kegiatan menuliskan emosi dan perasaan bisa memban- tunya memahami apa yang ia rasakan dan tahu kunci penyebabnya.
Sang Novelis melawan Kankernya
Pengalaman novelis Gao Xingjian menunjukkan bagaimana menulis membebaskan seseorang dari kutukan maut.
Tersebutlah sekira tahun 1982, ia divonis oleh dokter mengidap kanker paru-paru yang mematikan. Berita ini tentu membuat batinnya galau. Maut telah ada di depan mata. Dan siapa yang tak galau? Tapi Gao ternyata tidak menyerah. Ia berusaha melawan kutukan dokter itu dengan sebuah karavan panjang dan menuliskan impresi-impresi yang didapatkannya sepanjang karavan itu.
Bekal dan Bahan Penulis
Disiapkannya bekal secukupnya. Dan ia pun memutuskan untuk memulai perjalanan sunyinya sela- ma 9-10 bulan dengan menempuh perjalanan 15.000 kilo. Ia depai pedalaman sunyi yang masih miskin kata-kata, hutan, ngarai, dan dunia herb yang masih bersih dari nama-nama.
Ia bawa serta kutukan Partai Komunis dalam pengembaraan itu. Coba sekuat-kuatnya ia bebaskan semua ketertekanan jiwa- nya dengan menuliskan semua yang dilihatnya, semua yang dirasakannya: gunung-gunung yang teraut eksotis, kesenian rakyat, nujum, hikayat, perempuan yang telanjang, ataupun rahib-rahib fakir. Dicampurbaurkannya catatan perjalanan, coretan, kenangan diskusi, celoteh moralitas, geregap mantra, partai, Revolusi Kebudayaan, dan kesunyian diri.
Novelis Gao Xingjian, meraih Nobel Sastra
Singkatnya, sebuah novel gigantik setebal hampir 600 halaman yang berjudul Soul Mountain atau Gunung Jiwa.
Soul Mountain itu pula yang menyelamatkan jiwa Gao. Tak hanya mampu mematahkan diagnosis dokter, Soul Mountain juga mengubah jalan hidupnya untuk selama-lamanya. Akademi Nobel yang bermarkas di Swedia menganugerahi semua kerjanya itu dengan Hadiah Nobel Sastra pada tahun 2000. Kini ia hidup tenang di Prancis.
Jhon Mulligan menapaki jejak Gao Xingjian
Pengalaman novelis John Mulligan hampir serupa. Ketika pulang dari perang Vietnam, jiwanya mengalami guncangan hebat. Hatinya bobrok mendapatkan pengalaman yang trau- matik di medan jagal Vietnam yang disebut-sebut neraka bagi serdadu Amerika. Sebuah wilayah apokaliptik.
Mulligan selalu merinding bila mengingat-ingat geografi Vietnam itu. Hidupnya pun tak menentu. Tiap hari kerjanya hanya lantang-luntung tak jelas di jantung kota San Fransisco. Ia tak peduli kepada apa pun: keluarganya, lingkungan sosial-nya, bahkan dirinya sendiri.
Dalam kegamangan itu, seorang temannya mengabari bahwa ada sebuah workshop menulis. Dan entah mengapa Mulligan tertarik dengan pelatihan itu. Dan sungguh ajaib, kehidupannya tiba-tiba berubah setelah ia mengikuti workshop menulis yang disampaikan penulis masyhur, Maxine Hong Kingston, itu.
Usai mengikuti acara itu Mulligan seperti mendapat suntikan semangat baru. Cairan semangat hidupnya kembali menyala- nyala. Ini ditandai dengan siul dan tawanya yang lebar setelah meninggalkan pintu ruang pelatihan. Tidak seperti biasanya. Menulislah!
Mulligan mulai Menulis
Segera setelah tiba di rumahnya, ia langsung mengambil kertas dan berhadapan dengan mesin tik. Dan mulailah tangannya merayah papan tuts. Tak-tik-tuk. Tuk-tik-tak. Awalnya pelan. Tapi lama-kelamaan cepat. Seperti tidak memedulikan apa pun. Segayutan dengan pesan William Forester dalam film Finding Forester, Mulligan memang menulis dengan hatinya tanpa memikirkan bagaimana tata bahasa yang baik, logika dan struktur tulisan, atau respons pembaca.
Pendeknya, ia hanya menulis dan menulis. Mula-mula ia menuliskan adegan-ade- gan menegangkan di medan perang. Tentang teman-temannya yang menembak membabi buta demi kesenangan, membalas dendam tidak pada tempatnya dan sangat berlebihan, tentang darah, tentang desing maut peluru yang berhamburan di kiri kanan, tentang interogasi yang ultrakejam, tentang sesosok tubuh yang tergantung di pohon dan kepala yang menggelin- ding tersabet sangkur, dan tentang kubangan kesunyian yang mencekik di tanah asing yang berladangkan ranjau maut. Menulislah!
Tantangan awal saat Menulis
Awalnya Mulligan merasakan ada yang sesak di dadanya. Menyakitkan. Terkadang ia menjerit sendiri di kamarnya sambil menggasak acak rambutnya. lalu ia menerawang dengan pikiran bersambung jauh di belantara Vietnam. Terkadang pula ia tersenyum mengingat-ingat ketololan dirinya sendiri. Semua itu diceritakannya tanpa putus-putusnya.
Kemudian tahun-tahun berikutnya ia menemukan hal-hal yang mencengangkan: menorehkan horor masa lampau ke dalam tulisan ternyata bisa sangat efektif membantunya menjernih- kan pikiran dan mengangkat semangat hidupnya. Dalam hal ini, setiap cetakan kata yang dihamparkan Mulligan di atas kertas sebetulnya merupakan usaha mencicil keluar sedikit demi sedikit beban berat psikologi dan kejiwaan yang menghantuinya selama bertahun-tahun.
Menulislah untuk Kewarasan
Menulis bagi mereka yang terpidana dan tersekap dalam penjara juga sangat efektif untuk tetap mempertahankan kewarasan jiwa dari kegilaan yang tiap waktu mengintai dan mencekik. Bagi orang yang terbiasa dengan kebebasan, penjara adalah kutukan maut.
Padahal kenyataan hidup di alam paria itu tak bisa ditampik dan harus dijalankan oleh terpidana ketika palu putus diketukkan. Adil atau tidak ketuk itu, suka atau tidak suka keputusan pengadil itu, mestilah diterima. Menulis adalah pembangun ritme yang efektif agar waktu tidak sesak oleh waktu.
Tan Malaka: Menaklukan tulisan dari penjara ke penjara
Sebut saja nama Tan Malaka. Hidup dalam pelarian yang mencekam dan diasingkan dari penjara ke penjara (Hindia Belanda, Filipina, Hongkong, dan Republik Indonesia), sulit rasanya bagi founding fathers Republik ini untuk bisa bertahan.
Tapi ruang yang sempit, lembab, dan minimnya sinar mata- hari itu ditaklukkannya dengan menulis. Kepucatan paras, kekurangan gizi dan vitamin, dan kerapuhan jasmani, tidak membuat Tan Malaka susut. Ciut. Jasmani boleh rapuh dan mungkin rubuh, tapi jiwa tetap tak boleh terkungkung.
Salah satu kategori jiwa yang sehat adalah jiwa yang merdeka. Menulis menjadi jalan bagi Tan Malaka untuk mendapatkan itu. Dari bui yang menggetarkan nyali ini kemudian lahir karya- karyanya yang akan dikenang-kenang zaman. Di antaranya: Madilog dan Dari Penjara ke Penjara.
Pram: Penulis juga aktivis Krtitis
Pramoedya Ananta Toer (juga Hesri Setiawan), pemilik sah nomor tahanan politik (tapol) 0641, jauh-jauh hari sudah memastikan bahwa hidupnya sebentar lagi akan berakhir dimangsa dan boyak oleh kerja paksa di kamp tahanan Pulau Buru.
Beruntunglah, setelah dua atau tiga tahun melewati masa-masa krisis kreativitas dan kebangkrutan jiwa, ia kembali menemukan danau berlabuhnya angan dan kemerdekaan. Ia, oleh otoritas kuasa, diperbolehkan lagi menulis. Dan Pram menyambut dengan haru sekaligus mengambil jalan kreativitas yang hilang itu.
Lalu kawan-kawan di sekelilingnya dengan bersemangat mendorong agar Pram menulis apa saja tentang mereka, tentang manusia, kuasa, dan peradaban yang terus di- intai sangkur-sangkur kelaliman.
Ajaibnya, justru di tempat purba ini, ia bisa melahirkan karyanya yang menurutnya lebih dewasa: Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Trilogi Pembentukan Nasion Awal (Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir), juga autobiografinya yang memukau: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Hatta Sang Pencinta Buku
Adalah Hatta, pribadi yang agung dan pencinta buku yang sungguh-sungguh, juga mengisi irama waktu yang lamban dan membosankan dalam penjara dengan menulis. Penjara me- mang terancang untuk membasmi benih-benih kreativitas dalam jiwa seseorang sehingga dengan begitu mudah untuk digiring, dicelupi, dicundangi, diremas-remas tengkuknya de- ngan laras.
Hatta tidak lalu jadi jongos, jadi hamba karena penjara. Juga tidak menjadi gila karena pembuangan. Justru dalam pembuangan, dalam rangkaian larangan ketat yang tak dikehendaki, ia gondol berpeti-peti bukunya. Untuk mene- maninya bertarung sendirian dalam kesepian.
Simaklah kata- katanya yang terkenal ketika disekap di Boven Digul, Papua, pada 1934: “Buku adalah temanku. Buku-buku menjadi temanku dan pastilah (penjara) ini merupakan tempat tenang untuk belajar. Selama aku memiliki buku, aku dapat tinggal di mana saja.” Dan da- lam sekapan itu, Hatta, selain membaca, juga menulis.
Tradisi Menulis para Tokoh Bangsa
Ketika hari bebas datang, Hatta terlihat bugar-bugar saja. Oleh bacaan dan tradisi menulis yang terus tergerakkan, jiwa Hatta tetap sehat, kukuh. Tak tampak ada putus asa. Tak terlihat ada ketersusutan jiwa untuk memperjuangkan Indonesia merdeka sebagaimana juga tampak dari paras-paras alumni penjara kolonial seperti Bung Karno, Sjahrir, Agus Salim, dan seterusnya.
Penjara memang salah satu penyumbang ekstrem stres. Banyak lagi penyebab lain yang membuat jiwa seorang manu- sia bangkrut. Penyebab yang barangkali sifatnya sehari-hari, seperti pemutusan hubungan kerja, ibu muda yang mendapatkan momongan dalam kondisi jiwanya belum siap, putus cinta, kecantikan paras seorang selebritas yang hilang dan boyak tiba-tiba karena kecelakaan lalu-lintas, kekecewaan dan absurditas hidup, dan banyak lagi.
Psikolog: alternatif terbaik itu menulislah!
Menurut sebagian psikolog, stres dan bahkan kegilaan biasanya terjadi bila beban yang menekan tak bisa dikendalikan oleh si penderita. Dalam arti, beban yang tengah dipikul tak mempunyai saluran untuk mengeluarkannya.
Oleh karena itu, penelitian James P. Panebakker yang sudah dikutip di awal, mungkin benar bahwa menulis (yang rutin dan sungguh-sungguh) barangkali bisa menjadi alternatif untuk menyalurkan beban yang menghimpit di kepala dan hati yang bisa-bisa mengantarkan si penderita ke jurang kegilaan.
Menulislah dan lepaskan semua beban diri
Ya, menulis memang bisa membuat jiwa waras dan sehat. Karena dalam menulis terselip semacam roh harapan yang itu kerap tidak kita sadari. Bukankah harapan yang menjadi salah satu gir pacu bagi kita untuk tetap setia menjalani hidup?
Seyogiyanya, menulis tak terlalu sulit. Betapa tidak, menulis-dalam hal ini untuk penyembuhan jiwa yang galau dan tertekan tak perlu membutuhkan kecanggihan tersendiri.
Dalam konteks ini jangan bayangkan Anda seorang novelis yang berhadapan dengan pembaca. Buang jauh-jauh anggapan bahwa Anda seorang penulis profesional yang disibukkan dengan hal-hal komersial. Yang Anda pikirkan adalah bahwa Anda menulis. Mengeluarkan segala beban yang menggayut dan mencekik meronta di ceruk kesadaran Anda. Titik.
Senerai Penutup
Menulis bisa dilakukan di mana saja. misal, di kamar, bawah pohon rindang, pinggiran sungai atau di sisiran pantai. Di hadapan gunung yang menantang. Di mana saja-bahkan di penjara sekalipun. Asalkan ada kertas ada pena atau notebook, tulis dan ketik segala perasaan yang tertekan. Tumpahkan semuanya.
Untuk memulian menulis, jangan pikirkan tata bahasa, ejaan, atau struktur kalimat. Jika sudah tak ada yang dituliskan atau menemui halangan mental, barulah Anda coba membaca ulang secara perlahan semua yang sudah Anda tuliskan.
Oleh karena itu, pikiran Anda yang sudah bermain. Pikiran bertugas me- ngatrol semua yang sudah dituliskan: tema, plot, tata bahasa, ejaan, struktur kalimat yang efektif, tata cara kutipan, dan seterusnya. Pendeknya, pada tahapan pikiran di sana kita melakukan tugas pengeditan, penambahan dan pengurangan, dan rasa bahasa yang enak dibaca dan perlu. Itu pun kalau menurut Anda penyuntingan itu penting.
Bagaimana? (Muhidin M Dahlan)
Salam
Menulislah! Menulislah! lalu sembuh. Sekali lagi menulislah!
Tulisan disadur dari buku Para Penggila Buku, Seratus Catatan di Balik Buku yang terbit pada tahun 2009. Dengan beberapa perbaikan teknis melalui pendekatan kurasi literatur.
Kilik, membaca tuntas, dan komentar. Sangat berarti untuk penulis/editor/kurator. Terimakasih. Tertanda Management SISIPAGI.
Leave a Reply