“Agama” Sepak Bola

"Agama" Sepak Bola

Goresan salah satu tokoh dan budayawan kita Emha Ainun Nadjib. “Agama” Sepak Bola, tulisan ini dimuat dalam salah satu karya (buku) beliau berjudul Secangkir Kopi Jon Pakir. Tulisan ini kami elaborasi sedemikian rupa untuk mudah dan bisa dibaca dengan sajian yang lebih menarik. Selamat menikmati.

Sepak Bola: Jon Pakir, Gullit, dan Galatama di Tahun 60-an

Kalau alau di tahun 60-an sudah ada Galatama, maka yakinlah Jon Pakir pasti masuk. Si Gullit (baca Khullit) itu mirip-mirip Jon, bisa main di segala posisi. Kalau tak percaya, pergilah ke masa silam untuk membuktikan kehebatan kaki Jon.

Namun, Jon malang selalu lahir lebih cepat dari zaman yang membutuhkannya. Hampir di bidang apa saja. Jadi, kini Jon hanya main seminggu dua kali untuk kesebelasan veteran kampung. Selebihnya, menikmati persepakbolaan Indonesia yang tak kunjung mengerti apa problemnya itu.

Tarung Lawan Jepang: “Memasukkan Bola ke Lubang Jarum”

Nanti malam kita tarung lawan Jepang. Kita harus “memasukkan bola ke lubang jarum” untuk menempati posisi kedua, setelah Jepang memastikan menjadi juara. Dengan aji-aji tertentu, bisa juga. Tapi tawadhu-lah. Kita saksikan pertarungan itu dengan niat yang ber- beda.
Misalnya, seperti nonton kesenian.

Sepak Bola sebagai Kesenian, Kebudayaan, dan Tradisi

"Agama" Sepak Bola

Bukan hanya nonton bagaimana Ricky jadi anak panah, Jaya berimprovisasi, dan Rully “merusak” bangunan lawan; seperti juga kita terkagum pada Samba Brasil atau seni mesin Jerman. Tetapi juga bagaimana sepak bola itu sendiri sebagai kesenian, kebudayaan, tradisi, bahkan sebagai “agama”.

Sepak Bola Kebudayaan: Memasyarakatkan Olahraga

Sepak bola kebudayaan itu sepak bola yang memasyarakat. Di mana-mana orang main sepak bola. Tak penting punya kesebelasan nasional yang tangguh atau tidak; yang penting banyak orang main bola untuk hiburan, rekreasi, dan kesehatan.

Tantangan Identitas Sepak Bola Indonesia

Beda dengan sepak bola profesional. Ada sistem pembinaan. Menuju kesebelasan lambang harga diri bangsa dan negara, atau klub- klub yang menjual pertunjukan bola. Di sini tak penting masyarakat main bola atau tidak: pokoknya mereka jadi fans dan pembeli tiket yang fanatik. Honduras perang karena sepak bola. Stadion Heissel Belgia rusak dan Juventus bagai meng-“agama”-kan sepak bola. Orang membela klubnya seperti maju Perang Salib.

Indonesia masih tanggung. Dua macam sepak bola itu menuntut manusia pemain yang berbeda watak dan orientasinya. Kita tampaknya belum tahu itu. Kita hanya ingin menang, supaya dunia menganggap bahwa Indonesia ini sungguh-sungguh ada.

Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan memberikan tip buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: tip dan jajan penulis , terimakasih:)