Sisipagi.com – Tepar 27 Juni 2019 beberapa tahun lalu Prof. Azyumardi Azra membuat satu tulisan menarik dan mengingatkan kita semua tentang budaya demokrasi kita pasca pilpres 2019 lalu. Goresan tokoh kali ini datang dari buku yang beliau tulis berjudul Indonesia Bertahan Dari Mendirikan Negara Hingga Merayakan Demokrasi. Terbit pada 2020 silam. Semoga jadi bahan bacaan yang asyik untuk sobat pena semua. Selamat menikmati.
Apa demokrasi itu melelahkan?
Kalau kita iseng-iseng bertanya kepada masyarakat awam tentang kegaduhan politik pasca-pemilu 17 April lalu, agaknya banyak di antara mereka menjawab: “sudah capek dan bosan”. Kegaduhan demi kegaduhan dan drama demi drama dari elite politik mereka saksikan, terutama di layar TV; bagi orang awam apa yang mereka pertengkarkan jauh panggang dari api.
Lihatlah, pada awal pertarungan politik setiap kontestan di depan publik nasional menyatakan siap menang siap kalah dan siap pula bertarung dalam pemilu damai. Tapi lihat kenyataannya ada kontestan yang menolak mengakui kekalahan. Juga ada kalangan masyarakat yang diarahkan bukan untuk damai, tapi membuat kegaduhan dan kekerasan pada 22, 23, dan 24 Mei lalu.
Melelahkan. Demokrasi yang damai saja sudah melelahkan; apa lagi demokrasi yang disertai dengan kegaduhan baik lewat banyak pernyataan bertentangan yang kemudian diikuti kekerasan di beberapa tempat di Jakarta. Terakhir ada pula adu argumen dan bukti yang tidak selalu jelas dan bahkan konyol di sidang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dalam waktu hampir dua pekan terakhir.
Jika semua perkembangan ini disimak, patut untuk sebuah pertanyaan diajukan: siapa sebenarnya yang tidak siap berdemokrasi secara damai? Masyarakat akar rumput tampaknya senang-senang saja atau damal-damai saja dengan demokrasi.
Mereka sangat antusias berbondong-bondong memberikan suara pada 17 April 2019, menghasilkan tingkat partisipasi yang tinggi 81 persen dari total pemilih atau sebanyak 158.012.506 pemilih memberikan suaranya dari jumlah total 199.987.870 warga yang memiliki hak pilih.
Lalu, fakta pula tidak ada kegaduhan dan kekerasan di antara para pemilih akar rumput sejak dari waktu pencoblosan, penghitungan suara dan penetapan hasil pemilu pada setiap TPS. Setelah semua ini selesai, para warga tampaknya berkeinginan tak lain hanya untuk kembali ke dalam kehidupan normal sehari-hari.
Gonjang-ganjing hasil pemilu 2019
Lebih jauh, survei Harian Kompas (17/6/19) menemukan publik umumnya menerima hasil pemilu. Menurut jajak pendapat Kompas, 96,4 persen pendukung Jokowi-Ma’ruf berbanding 53,5 pendukung Prabowo-Sandiaga dapat menerima hasil pemilu. Lalu siapa yang sebenarnya ingin gaduh?
Sikap menerima hasil pemilu seperti itu tampaknya terkait dengan gejala lain. Menurut survei Saiful Mujani Research and Consulting yang dirilis 16 Juni 2019, 69 persen pemilih menilai pilpres sudah jurdil, dan 68 persen berpendapat sama untuk pileg
Sementara itu, elite politik di tingkat nasional terus bergaduh antara kubu yang mengklaim pilpres penuh kecurangan dengan pihak yang menganggap pilpres sudah berjalan baik. Kegaduhan Ini terus menyebar melalui media sosial-mempertajam polarisasi di lingkungan masyarakat politik.
Tidak ada tanda-tanda untuk menyelesaikan kegaduhan itu lewat pertemuan atau bahkan silaturrahim halal bi halal pasca Ramadan 1440 secara terbuka. Sebaliknya, publik diterpa berita dan laporan tentang adanya political deals di balik layar di antara kubu-kubu yang masih berkontestasi.
Oleh karena itu, harapan masyarakat untuk terjadinya rekonsiliasi dan islah secara terbuka belum terwujud. Sulit memastikan , kapan rekonsiliasi genuine untuk kesatuan dan persatuan bangsa benar-benar bisa terwujud? Apakah penetapan keputusan MK pada 27 Juni 2019 ini dapat menghasilkan islah? Mengingat polarisasi begitu tajam dan pahit, tampaknya rekonsiliasi yang mencakup seluruh lapisan masyarakat (across the board) masih memerlukan waktu cukup panjang.
Kegaduhan yang panjang di kubu elite politik yang berkepanjangan menghasilkan dampak jelek terhadap pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi. Lagi-lagi dengan mengutip jajak pendapat Kompas, 60,1% responden menyatakan, pelaksanaan Pemilu 2019 cenderung lebih buruk dari pemilu sebelumnya (2014).
Seperti terungkap dari jajak pendapat Kompas dan SMRC, menurunnya kualitas Pemilu 2019 tak lain terutama terkait dengan aksi kekerasan yang terjadi di beberapa titik di Jakarta pada 21, 22, dan 23 Mei. Kekerasan seperti ini memang tidak lazim; sejak pilpres langsung mulai diselenggarakan pada 2004, kekerasan dapat dikatakan relatif absen.
Dengan mengangkat kerusuhan 21, 22, dan 23 Mei itu sebagai indikator lebih buruknya Pemilu 2019, secara mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) sebagai salah satu kaidah ushul fiqh, para pemilih umumnya berpandangan, kualitas demokrasi menjadi lebih baik jika tidak ada kegaduhan atau kekerasan. Demokrasi berkualitas adalah demokrasi yang tertib dan damai.
Pada tahap ini pembicaraan mesti menyangkut budaya demokrasi, yang bukanlah subjek baru; tetapi tetap relevan. Diplomat dan pemikir politik asal Prancis Alexis Tocqueville (1805-1859) yang mengamati pertumbuhan demokrasi Amerika menyimpulkan tentang urgensi budaya demokrasi agar demokrasi bisa bertahan dan berkelanjutan.
Bahaya dan gejala narsisme dalam budaya demokrasi
Dalam proses demokrasi, Tocqueville mengamati adanya ketegangan dalam diri aktor-aktor utama demokrasi. Ketegangan itu terjadi di antara gejala narsisisme diri dengan tendensi meraup kekuasaan secara berlebihan untuk mendominasi narasi politik. Ketegangan ini tak bisa lain dapat mengganggu proses demokrasi.
Oleh karena itulah diperlukan budaya demokrasi yang berperan sebagai penengah di antara kecenderungan narsisistik dan haus kekuasaan berlebihan dalam diri elite dan politik. Budaya demokrasi itu berpusat pada civil culture, budaya kewargaan. Dengan civil culture, para pemimpin dan elite politik memiliki hubungan berbasis sikap saling percaya dan saling menghormati.
Demokrasi bisa bertumbuh dan terkonsolidasi baik sehingga dapat menjadi sistem politik efektif jika elite politik dan warga memiliki civil culture yang kuat. Hanya dengan civil culture yang kuat dapat tumbuh public civility, keadaban publik yang menghasilkan keteraturan dan kedamaian (public order and peace). Inilah salah satu tantangan terberat demokrasi Indonesia pasca-Pilpres 2019.
~~~
Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan memberikan tip buat penulis (kurator naskah), caranya? Silahkan klik laman berikut: tip dan jajan penulis , terimakasih:)
Leave a Reply