Sebuah kehormatan mendalam dan memiliki kesan yang amat kuat. Berawal dari penelitian Mbah Wahid Hasyim sebagai tokoh Pesantren Tebuireng sekaligus Pahlawan Nasional.
Saya berkesempatan mewawancarai Gus. Riza yang merupakan ponakan dari Wahid Hasyim itu sendiri. Dua tahun lalu adalah awal perkenalan dengan beliau.
Kini saya berkesempatan menjalin silaturahmi kembali dan akan bekerjasama dalam menggali banyak terkait tradisi pesantren dan kota Jombang itu sendiri. Tentu beliau saya anggap sebagai mentor, pembina sekaligus jika berkenan saya tuakan sebagai orang tua dengan segala kehormatan tinggi.
Singkatnya saat berbincang santai. Beberapa waktu lalu, beliau mengingatkan dan menguatkan. Bahwa, “Mengkurasi Koran dan Buku Tua (menulis) itu kerja menggali harta karun yang ada”. Ujar beliau dengan tenang lagi santai dikediaman beliau yang kami menyebutnya kediaman kenanga atau Griya Kenanga.
Griya Kenanga dan Ruang Kurasi Harta Pusaka
Sepenggal dan sependek ingatan saya sejak pertemuan awal dengan Gus. Riza hingga kini di kediaman beliau alias Griya Kenanga setidaknya ada tiga gudang ruang penyimpanan buku dan koran tua. Salah satunya ada di Pesantren Tebuireng.
Selain itu beliau juga masih menyimpan pusaka lain seperti tongkat Hadratussyaikh yang melegenda itu. Ada lemari buku hingga perkakas masak lainnya.
Sedikit beliau bercerita tentang bu Nyai Nafiqoh istri dari Hadratussyaikh sendiri adalah orang yang sangat ahli di dunia masakan bahkan sangat arif dalam memastikan gizi hingga kesehatan masakan bahkan rasanya. Griya kenanga sedang merawat itu semua dalam ingatan dan pusaka.
Semoga perjalanan saya sebagai kurator yang akan menuliskan dibawa bimbingan Gus. Riza menjadi sesuatu. Ya, sesuatu yang berharga bagi kita karena telah merawat tradisi sebagai pusaka yang mahal.
Menulis adalah Perjalanan
Cukup dulu cerita Griya Kenanga. Setelah sedikit saya menceritakan Griya Kenangan dan ruang kreasinya.
Ini adalah sebuah kehormatan paling berharga ketika perjalanan menulis akan saya teruskan. Tentunya akan panjang dan selama mugkin dengan pemaknaan mulia pula.
Mari kita maknai sebuah perjalanan . Bahwa perjalanan panjang adalah pengalaman sekaligus pelajaran berharga.
Hal di atas saya ungkapkan karena peristiwa panjang. Kuliah dahulu sejak 2014 hingga hari ini, ternyata menulislah yang jadi sahabat sejati.
Kemudian berproses dan mengaggapnya sebagai sebuah perjalanan. Dan inilah yang mengubah banyak hal dalam hidup.
Yang paling mencengangkan ialah menulis ternyata membawa banyak manfaat. Paling terasa ia menjadi medium juga wahana untuk menemukan siapa diri kita.
Maka menulislah salama mungkin
Dari perjalanan penjangan menulis. Tentu kita tidak selalu mulus dan mudah.
Terlabih mengawali perjalanan dalam dunia kepenulisan. Kendalanya pasti banyak, mana bahan bacaan masih satu dua biji buku, belum lagi karya kita belum layak ada.
Rasanya zonk alias blank atau kata lainnya tidak ada gambaran apapun untuk menemukan alasan menulis. Benar demikian pembaca budiman tercinta?
Kali ini izinkan saya mematahkan dan menghancurkan prasangka di atas. Silahkan menulis sekarang juga!
Kita tidak perlu menunggu berapa buku yang kita baca. Bahakan baru satu paragraf sekalipun maka tulislah hal menarik didalamnya.
Setelah menulis dan pertahankanlah kebiasaan baik satu ini. Dan pada akhirnya kita betah untuk menulis selama mungkin serta mebaca sepanjang mungkin.
Bacalah sepanjang mungkin
Saya membaca sejarah seorang Raden Saleh. Kenapa dalam lukisan yang melegendanya tentang Pangeran Diponegoro begitu kuat sentuhannya bahkan organik dengan nuansa mengabadikan sebuah potret sejarah.
Ternyata seorang Raden Saleh sudah membaca dan mendengarkan perjuangan Pangeran Diponegoro sejak ia belia. Ia melakukan sebuah pembacaan panjang alias membaca sepanjang mungkin.
Lalu lahirlah sebuah karya yang melegenda itu. Sekilas peristiwa sejarah ini mengajrkan kita bahwa untuk menyejarah ada perjalanan panjang di dalamnya. Sekali lagi, bacalah sepanjang mungkin!
Leave a Reply