Sisipagi.com – Sebelum membahas jauh tentang debat capres yang sudah berlalu beberapa waktu lalu. Dan sejatinya saya ingin abai saja namun entahlah kenapa jemari ini terus haus untuk menulislannya. Sebelum itu, izin saya bertutur tentang pengalaman nyantri beberapa tahun lalu kisaran 5 tahun lalu kurang lebih.
Budaya sensasi
Waktu jadi mahasiswa sekaligus nyantri di salah satu pondok pesantren miliki politikus kenamaan. Tidak perlu saya sebutkan tokohnya sebagai kode etik untuk menjaga orisinil sentimen politik yang saya tulis sekarang.
Dalam satu kuliah dengan sebuah mata kuliah yang membahas sensing culture. Sang dosen mengingatkan kita semua sebagai santri harus menyadari bahwa saat ini era media sosial kita selalu dibenturkan untuk selalu bereaksi dengan potongan kecil vidio atau sebaran media sosial dan meresponnya secara berlebihan.
Sensitifitas kita sebagai manusia tidak lagi sewajarnya melainkan berlebihan. Nah, kaitannya dengan debat capres kemarin menurut saya ini sangat membawa kita semua pada ruang sensitifitas yang tinggi. Alias semua terpancing emosi padahal gagasan yang disampaikan begitu sedikit.
Kita hanya teralihkan pada konsumsi potongan dari sebaran media sosial. Format debat sendiri adalah potongan gagasan karena waktunya sangat terbatas. Hal ini yang memicu kita semua berkutat pada hal-hal yang bersifat sentimen.
Pemicu kita untuk bereaksi tinggi tanpa melihat utuh sebuah gagasan. Bagaimana kita bisa cerdas sebagai pemilih jika hanya mengedeakan sentimen belaka dalam cara berpikir dan bertindak kita?
Debat yang hanya mengedepankan sensasi tidak akan pernah membawa kita pada pendidikan politik sesungguhnya. Hemat saya hanya akan mematikan nalar kita berpolitik secara rasional.
Alternatif selain debat, kedepankan dialog gagasan!
Ketika terus kita lanjutkan gaya bermain dan budaya sensasi kita maka hanya akan jadi bom waktu dan penyakit kronis dalam berpolitik. Politik selamanya akan dipandang sesuatu yang tidak sejalan dengan cita-cita kesejahteraan. Hanya akan ada gimik dan gaya praktis untuk sebuah keuntungan sesaat tidak lagi cita-cita luhur.
Wajar saja ketika Gus Mus menjuluki abstraknya politik dan demokrasi. Dalam tulisannya “Demokrasi dan Politik, Sudah Jelaskah?”. Beliau menegaskan politik sangat abstrak untuk itu perlu didefinisikan secara jelas.
Sedikit mempertanyakan akan kah kerja politik itu bisa dijelaskan dengan gagasan jika tidak hanya akan menjadi janji abstrak yang tidak pernah bisa diwujudkan karena jualan jargon semata tanpa gagasan yang jelas.
Dari uraian di atas jelas betapa yang diperlukan kejelasan gagasan bukan jargon saling serang kala debat. Dialog pun akhirnya jadi pilihan utama untuk kita melihat gagasan baru bagi calon pemangku kebijakan kedepan.
Membuka mata untuk politik gagasan
Akankah ada harapan lagi politik kita itu basisnya ide dan gagasan. Indonesia kaya akan identitas, 18.000 pulau dan jutaan suku misal di Papua saja hampir 300-san suku yang ada. Belum lagi suku-suku di pulau lainnya, ada berapa identitas suku dan betapa kayanya negri kita.
Betapa disayangkan jika ini hanya menjadi alat untuk label politik identitas. Sedangkan kekayaan dan keragaman kita sebagai bangsa yang dibutuhkan adalah ide-ide besar untuk menyatukan untuk berkolaborasi jadi satu kekuatan politik yang akan menggentarkan negara lain secara budaya.
Sebuah temuan menarik di negara maju seperti Amerika dan Selandia Baru atau New zealand telah melahirkan politik toleransi dimana ini dikarenakan dua negara ini mengedepankan aspek kemakmuran dan kesejahtraan rakyatnya. Tidak kalah pentingnya adalah menjamin pendidikan dengan fasilitas terbaik negara berikan.
Indonesia sebaiknya membuka mata. Hingga politik identitas lahir bukan lagi gorengan politik tapi ide politik toleransi sebagaimana negara maju lainnya telah menerapkannya. Kita bisa akan lebih kerena kita sejatinya telah memiliki rasa toleransi yang tinggi sejak lama dan dicontohkan oleh para pendahulu kita.
Sebuah penutup untuk Negri Harapan
Ketika negara kita dengan identitas yang banyak dan penduduk terbesar baik sebagai negara beragama hingga menjadi negara demokrasi terbesar ke 3 di dunia. Akhirnya negri ini jadi negri harapan. Kita bergegas bersama untuk melahirkan ide besar dan gagasan besar demi negara besar ini.
Mau tidak mau ini kita lakukan bersama-sama sebagai sesama anak bangsa. Dengan mengedepankan dialog bukan lagi sentimen atau debat yang hanya untuk menjatuhkan lalu tanpa langkah nyata apapun.
Salam.
~~~
Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan memberikan tip buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: tip dan jajan penulis , terimakasih.
Leave a Reply