Gagasan Pak. Ud: Keanggotaan Ganda Muhammadiyah-NU 

Gagasan Pak. Ud: Keanggotaan Ganda Muhammadiyah-NU
Property of Sisipagi

Sisipagi.com – Tentang sebuah gagasan yang hari ini sangat dibutuhkan. Katakanlah secara substansi gagasan ini adalah anjuran untuk persatuan alias kolaborasi kebaikan demi kemaslahatan bersama. Tanpa melihat kita memakai bedara apa bahkan bendera itu bisa kita “ganda-satukan”.

Gagasan Besar Pejuang Nasional

Goresan tokoh kali ini datang dari salah satu cendikiawan muslim Indonesia yang sangat produktif menulis. Salah satu tulisan beliau yang berhasil saya kurasi adalah tulisannya pada tahun 1989 terbit di Majalah Panji Masyarakat. 

Beliau menguraikan gagasan dari KH. Yusuf Hasyim alias Pak. Ud panggilan akrabnya seorang tokoh dari Tebuireng sekaligus pejuang nasional. Gagasannya adalah tentang keanggotaan ganda sebagai warga Muhammadiyah sekaligus juga warga NU demikan sebaliknya. 

Bagaimana gagasan ini diuraikan pada masa itu, apakah masih relevan dengan hari ini? Selamat menikmati tulisan almagfirlah. Ahmad Syafi’i Ma’arif dengan judul asli “Muhammadiyah-NU Memupus Trauma Masa Lalu”.

“Muhammadiyah-NU Memupus Trauma Masa Lalu”

oleh: Ahmad Syafi’i Ma’arif

DALAM rubrik Berita dan Komentar (Panjimas No. 618 Tahun XXX, 22 Juli-1 Agustus 1989, halaman 13). Kita membaca ungkapan yang menarik perhatian dan semangat iman seorang Muslim. Ungkapan itu keluar dari seorang tokoh senior umat Islam, K.H. Jusuf Hasjim, yang kebetulan juga pemimpin kelas berat NU.

Di antara pernyataan beliau adalah agar pada Muktamar NU dan Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta nanti. Dibahas tentang kemungkinan keanggotaan ganda bagi setiap warga kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.

Dan bila gagasan itu dapat diterima oleh muktamar masing-masing. Pak Jusuf akan merupakan orang pertama yang mendaftar sebagai anggota NU yang merangkap menjadi anggota Muhammadiyah.

Pernyataan ini disampaikan dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Surabaya pada 9 Juli 1989 di kampusnya, Pucanganom Timur, Surabaya.

Menurut rencana semula, pihak panitia seminar telah menetapkan saya sebagai pembahas makalah Pak Jusuf, tapi karena sakit saya tidak bisa hadir.

Oleh sebab itu, kolom ini saya harapkan akan berfungsi sebagai ganti dari tanggapan langsung terhadap Pak Jusuf, sekalipun hanya dibatasi pada gagasan tentang prospek hubungan antara Muhammadiyah-NU pada masa-masa yang akan datang.

Melebur Perbedaan

Pernyataan Pak Jusuf, seperti juga telah disiarkan media massa secara agak luas itu, sebenarnya telah saya dengar langsung dari Bung M. Amien Rais yang memang bertindak sebagai pemakalah dalam seminar itu.

Menurut Bung Amien, gagasan Pak Jusuf itu telah disambutnya dengan gembira, dan ditambahkan agar mekanismenya tidak saja melalui rangkap anggota. Tapi juga melalui budaya kawin silang antara warga dari kedua organisasi.

Menurut pengamatan saya, kawin silang ini telah lama berlangsung dengan mulus. Mungkin soalnya kini adalah bagaimana bila hal itu lebih digalakkan oleh kedua organisasi, setidak-tidaknya oleh tokoh-tokoh dari NU dan Muhammadiyah.

Generasi hasil dari perkawinan ini tentu tidak akan banyak mengalami hambatan kultural dan psikologis dalam usaha mempercepat ide penyatuan umat. Generasi ini telah bebas dari berhala fanatisme sempit golongan yang selama ini ternyata sangat mempersulit kerja memperdekat jarak hati antara warga kedua organisasi itu.

Kebersamaan yang Sudah Lama Ditanam

Gagasan Pak Jusuf dalam arti substansial di kalangan terbatas di Yogya dan di tempat-tempat lain sudah lama dirintis dan menunjukkan hasil yang sangat positif. Anak-anak muda NU di Yogya, Semarang, dan lain-lain sudah terlalu biasa mengundang orang-orang semisal Kuntowijoyo, M.A. Rais, M. Rusli Karim, serta banyak yang lain.

Dalam pertemuan-pertemuan diskusi yang mereka selenggarakan. Bulan puasa yang lalu saya sendiri sampai dua kali turut serta dalam diskusi yang dimotori oleh anak-anak umat dari PMII di Yogya.

Bukankah fenomena seperti ini merupakan fajar kesadaran baru di kalangan anak-anak muda yang sudah bosan dengan tradisi berpikir “yang-itu-ke-itu juga”? Maka apa yang diselenggarakan oleh anak-anak umat dari Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Dengan menampilkan tokoh Jusuf Hasjim telah semakin menyadarkan kita bahwa trauma sejarah masa lalu memang sudah harus dipupus, dimaafkan, dan dinilai sebagai suatu proses dalam rangka mencari jati diri sebagai umat yang satu. Kompak lahir batin!

Kini Saatnya Umat Melangkah Bersama

Atau dalam ungkapan lain, kita dapat mengatakan bahwa umat ini tampaknya telah semakin apresiatif terhadap perintah Al-Qur’an tentang ukhuwah imaniyah yang bernilai sangat strategis dalam mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah, baik dalam skala lokal, nasional, ataupun global.

Adapun masih ada pihak-pihak yang belum juga memahami arus kesadaran baru ini, menurut hemat saya, tidak perlu terlalu dirisaukan. Sebuah perubahan sikap mental memang selamanya memerlukan tempo. Tapi bahwa arus kesadaran baru itu di mata anak muda sudah tidak mungkin dibendung lagi.

Bebaskan Diri dari Fanatisme! Saatnya Berpikir Konstruktif dan Mandiri

Islam di tanah air kita sekarang bukan lagi Islam yang masih berada dalam pasungan kolonialisme. Islam di sini hidup secara kreatif dalam sebuah negara dan bangsa merdeka. Oleh sebab itu, anak-anak umat yang lahir dan dibesarkan di alam merdeka akan mampu berpikir dan bertindak lebih merdeka dan lebih kreatif dari generasi sebelumnya.

Beban sejarah sebagai umat terjajah tidak lagi menghantui. Mereka untuk berpikir bebas, konstruktif, dan mandiri.

Dan bukanlah sebuah dosa sejarah bila mereka menempuh jalan sendiri untuk pembumian pesan-pesan Islam sebagaimana yang mereka rumuskan sendiri. Beri mereka peluang untuk menentukan masa depan umat di tanah air kita.

Kemudian, bila kita beralih kepada jajaran birokrasi, khususnya Departemen Agama yang dulu pernah menjadi ajang konflik antara NU dan Muhammadiyah, kini situasinya tampaknya sudah semakin mereda. Oleh sebab itu, tampaknya perlu semakin lebih dipikirkan masalah promosi jabatan di lingkungan Depag ini, agar benih-benih konflik tidak kambuh kembali di masa-masa yang akan datang.

Artinya, promosi jabatan benar-benar harus didasarkan kepada kriteria kualitas pribadi seorang pejabat yang akan diangkat. Cara-cara lama yang lebih menekankan pertimbangan kepentingan golongan haruslah dipandang tidak etis secara Qur’ani. Bila tindakan itu dilakukan juga, maka hal itu haruslah dikategorikan sebagai perbuatan amoral.

Bukankah pada waktu-waktu yang lalu konflik-konflik internal di lingkungan Depag telah turut menguras energi umat untuk sesuatu yang sia-sia serta memperdalam luka-luka lama?

Senerai Penutup

Akhirnya, kita berharap bahwa gema Surabaya akan mendapat perhatian yang serius oleh kita yang benar-benar sadar akan keberadaan Islam di tanah air kita. Jika pun gagasan rangkap anggota masih akan menemui banyak kendala, substansi dari gagasan itu haruslah kita tangkap sebagai manifestasi dari iman kita dalam hidup bermasyarakat.

Salam hangat,
 Pak Ud.

Ruang Kurasi Griya Kenanga

Saduran dari PANJI MASYARAKAT NO 619, 29 ZULHIIJJAH — 8 MUHARRAM, 1410 H, 1–10 Agustus 1989

Guest House Griya Kenanga, Kwaron, Jombang

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.