sisipagi – Sebuah kisah kala studi di Jogja. Satu kebiasaan menyenangkan yang saya lakukan kala musim hujan tiba di Jogja.
Mengumpulkan koran tua dan mengklipingnya lalu mencari tulisan-tulisan menarik dari beragam tokoh senior di Indonesia. Dari politisi hingga akademisi adalah santapan lezat di alam pikir literasi.
Koran tua itu nutrisi literasi
Sore Jogja saban hari selalu dilanda hujan kala mulai memasuku oktober atau akhir september. Momen ini biasanya saya isi dengan mengkurasi koran-koran tua.
Semakin tua korannya semakin bergairah pupukan kemaun mengkurasi. Entah mengapa, semakin tua korannya valuenya terasa semakin bertambah.
Saya selalu percaya bahwa membaca itu nutrisi baik bagi penulis. Dengan mengkurasi koran tua terkesan hanya sebuah hobi namun secara tidak langsung menambah jam membaca saya.
Maka koran tua di bulan september jadi nutrisi literasi tersendiri. Petualangan sebagai penggores pena akan semakin menyuburkan tulisan tentunya.
Ibu pengkliping koran
Sore itu saya iseng bertanya, “Ibu udah lama ya jualan koran di sini?”. Jawabnya, “lumayan mas”.
“Berapa lama bu?”. Lanjutnya, ibu lupa persisnya, yang jelas sejak tahun 80-an. Ibu juga sudah terbiasa mengkliping sendiri koran-korang yang ada.
Dialog sore di atas terjadi di sudut Shoping Center kota Jogja atau orang-orang mengenalnya Taman Pintar. Mahasiswa paham di SC adalah tempat untuk belanja buku bekas termasuk lengkap dan besar di Jogja.
Prabowo Subianto dan Shoping Center
Ibu melanjutkan ceritanya sore itu, bahwa pak Prabowo itu tiap tahun sering berkunjung ke sini. Bahkan menyambangi ibu lalu bertanya tentang kliping tua koran ibu.
Kesaksian ibu itu menunjukan bahwa pak Prabowo adalah pribadi yang gemar membaca. Di tengah kesibukannya sebagai sosok besar negri ini ternyata memiliki kecintaan pada buku.
Prabowo datang menurut insting dangkal saya. Beliau hanya ingin melihat bagaimana literasi di negrinya.
Saya berharap kepada pak Prbowo setelah dilantik nanti sebagai presiden terpilih akan memperhatikan dunia literasi. Beliau tentunya memiliki pandangan bahwa Indonesia harus memiliki penulis yang menjadi tuan rumah di negrinya sendiri.
Alam literasi Jogja untuk Negri
Jogja adalah kota dengan tingkat literasi tertinggi di antara kota-kota di Indonesia. Namun fakta pahitnya terendeh diantara kota-kota di Asia Tenggara tertinggal jauh dengan Kota Singgapure dan Kota Kuala Lumpur di Malaysia sebut saja.
Ketika UNESCO menetapkan Libanon sebagai kota buku alias kota dengan antusias pembaca yang tinggi. Ada letak rasa iri dan memimpikan kapan Jogja juga bisa ditetapkan sebagai kota buku.
Ada rasa optimis karena Jogja sudah dikenal sebagai kota pelajar dan budaya. Jika dua gelar ini didokumentasikan dengan baik oleh banyak penulis maka bisa dipastikan alam literasi untuk negri akan hidup dengan sendirinya. Arus itu dimulai dan datang dari Joga.
Akhirnya: Koran, Ibu dan Prabowo itu ada di Jogja
Pernah mencicipi studi di kota pelajar dan memiliki kegemaran membaca koran tua, terkesan hobi yang aneh. Tapi lagi bagiku itu nutrisi bagi alam pikirin sendiri. Semakin menghargai kata “tua” yang artinya tidak melupakan sejarah.
Ibu pengkliping itu mengajarkan betapa konsistensi di dunia literasi adalah sebuah pengabdian panjang dan lama. Begitu pun dengan Pak Prabowo yang memiliki kebiasaan belanja buku tiap tahun di Jogja adalah keteladanan alam literasi berharga.
Jogja selain istimewa ternyata menyimpan sisi alam literasi. Penggalan utas tulisan sederhana ini semoga membuka mata kita bersama. Sampai ketemu utas tulisan lainnya.
>>>
Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan memberikan tip buat penulis (kurator naskah), caranya? Silahkan klik laman berikut: tip dan jajan penulis , terimakasih.
Leave a Reply