Sisipagi.com – Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar sekaligus negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia. Indonesia selalu saja terbentur dengan politik identitas. Bagaimana ini bisa terjadi? Mungkinkah hanya sebuah narasi untuk label yang tidak produktif karena adanya phobia atau dengan kata lain anti pada identitas di tubuh bangsa kita sendiri.
Apa itu politik identitas
Politik identitas bisa saja diartikan secara sederhana membawa identitas individu atau kelompok tertentu dengan membawa status identitas. Contoh paling sering digunakan adalah identitas keagamaan dan kesukuan.
Lalu hal yang paling sering diserang dalam politik identitas isu agama. Hal ini paling “empuk” untuk digoreng dalam kepentingan politik baik yang dilabeli identitas atau yang memberi label. Di negri kita fenomena ini terjadi lima tahun sekali diperhelatan Pilpres.
Beberapa pakar tidak mempermasalahkan adanya identitas dalam berpolitik. Tentu hal ini dengan syarat ketat bahwa tidak untuk menyerang dan merugikan pihak lain. Demikian salah satu tokoh dan pakar hukum menuturkan, Prof. Mahfud.
Saya pribadi bukannya berbeda dengan pakar di atas. Hanya saja ingin mengambil posisi tegas bahwa alam politik adalah alam paling dinamis. Identitas di dipolitisir itu selalu terjadi. Itu fakta tapi kata politik identitas rasanya hanya gorengan demi kepentingan.
Tentu pandangan di atas bisa terus didiskusikan. Tanpa debat kusir yang tak berkesudahan. Saling menghargai masing-masing dan ragam pandangan yang berbeda.
Mempertanyakan fenomena politik identitas
Terbesitlah di kepala saya untuk uraian kita kali ini. Kok ada ya politik identitas? Kenapa di kepala saya hanya fatamorgana ya politik identitas itu. Walau berdasarkan hasil penelitian yang ada bahwa pemicu politik identitas penyebab kuatnya Adalah terjadinya mayoritas dan minoritas baik suku, rasa dan agama.
Justru hal di atas membuat saya tidak yakin, bagaimana mungkin masyarkat kita terbelah hanya karena mayoritas minoritas sedang negara luar saja mengagumi keharmonisan dan toleransi kita sebagai bangsa yang beragam. Tentu ini hanya Label untuk sebuah perpecahan. Di satu sisi lain manusia harus membawa identitas sebagai etintas manusia yang memiliki status sosial. Melekat agama, melekat suku dan banyak lagi identitas lainnya.
Kenapa identitas agama selalu jadi kambing hitam politik identitas di tahun pemilu lima tahun sekali di Indonesia sebagai negara muslim terbesar sekaligus negara demokrasi ke tiga terbesar di dunia.
Beginilah sifat dasar politik. Isu apa saja bisa jadi santapan. Kembali ke diri kita masing-masing cerdaskah mengadapi tahun-tahun yang katanya pesta demokrasi ini. Maka sudahi saja label identitas dalam berpolitik. Biarkan saja mereka yang berpolitik dari latar belakang mana saja.
Melek dan belajar: tidak “menggoreng” identitas
Mari kita belajar dari Timur Tengah dimana konflik selalu saja berkepanjangan. Seperti di Suriah dimana agama bahkan aliran dalam agama jadi pergolakan politik yang panas. Sudah!
Kita juga harus belajar pada konflik agama yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tak perlu menyebutkan pristiwa dan di mana. Lagi dan lagi sudahi saja label politik identitas ini.
Indonesia dengan nilai toleransi yang tinggi. Jangan lagi ada perselihan soal bedanya agama. Kita harus belajar dari peristiwa kerusuhan-kisruh karena dibenturkan isu agama.
Menjelang natal ini jangan sampe jadi ajang perpecahan dan dipolitisir akibat hanya karena muslim terbagi dua pendapat yang mengucapkan dan yang tidak. Saya pribadi sangat menyedihkan. Sahabat saya kristiani sangat banyak, terkadang kami saling bercanda tanpa tegang untuk merayakan hari spesial masing-masing. Toleransi kita semua sudah terjalin erat kuat sejak lama sejatinya.
Fatamorgana atau Fakta politik identitas kita?
Jika identitas dengan segala pelabelan yang ada di dalamnya. Hanya membawa kerusuhan maka politik identitas segera Saja kita enyahkan alias hilangkan bersama-sama. Jangan lagi ada Label identitas dalam politik baik suku agama dan lain sebagainya.
Sebab sebuah fatomargana jika sebagai sesama anak bangsa hanya mencapai keterpecah belahan. Padahal hakikat politik jika perlu direnungi lebih jauh adalah berjibaku membangun negri bahkan menciptakan peradaban. Sebagaimana amanat UUD 45 bahwa perdamaian dunia adalah cita-cita peradaban bangsa Indonesia.
Ada baiknya kita tutup tulisan sederhana ini dengan ungkapan populer seorang filsuf dunia. Aristoteles mengingatkan kita semua bahwa tujuan adalah mencapai banyak kebaikan demi kebaikan.
Tujuan politik bukanlah pengetahuan melainkan tindakan (kebaikan).
Aristotles
~~~
Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan memberikan tip buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: tip dan jajan penulis , terimakasih.
Leave a Reply