Goresan tokoh kali ini datang dari salah satu penyair sekaligus sastrawan besar miliki Ibu Pertiwi yang merupakan kebanggaan Indonesia. Beliau adalah Taufiq Ismail.
Almgfirlah alias almarhum Taufiq Ismail yang wafat pada 26 Desember 2008 ini. Pernah menulis catatan kebudayaan di Majalah Horison yang terbit pada 6 Juni 1984.
Sastra Sebagai Amal Shaleh
(Taufiq Ismail, 1984)
Judul asli artikelnya: “Sastra Sebagai Amal Shaleh”. Kami mencoba elaborasi dengan tafsir bahwa sastra adalah wasilah alias jembatan untuk beramal shaleh.
Semoga sajian kami dari media SISIPAGI bersama Ruang Kurasi Griya Kenanga. Dapat memberikan manfaat dalam melihat sejarah goresan tokoh dari guru bangsa kita bersama.
Selamat menikmati
Niat adalah Pangkal Segala Karya
Apapun jua bentuk kesenian yang akan kita lakukan, bentuk sastra yang akan kita tuliskan, maka yang teramat penting pada awalnya adalah niat.
Niat kita mestilah niat karena Allah, tidak karena yang lain. Tidak karena manusia, tidak karena lembaga, tidak karena seni atau sastra itu sendiri.
Niatnya karena Allah, diperuntukkan bagi manusia.
Manfaatnya bagi manusia dan makhluk lainnya. Sekiranya karena bersastra kita memperoleh rezeki, ini kita terima dengan rasa terima kasih.
Sekiranya karena bersastra kita kena caci, ini kita terima dengan rasa sabar.
Ilmu: Ladang Subur bagi Kesenian
Sulit tersedia tempat bagi orang tanpa ilmu dalam sastra. Dalam menjalankan kesusasteraan, kita harus berilmu.
Ladang pertanian kita seharusnya sedemikian gembur sehingga sebanyak mungkin pengetahuan dan pengalaman terserap, sehingga tidak perlu mengajuk jauh ke bawah agar terangsang proses penciptaan kimia.
Sastra Tersaji Beraneka Rasa
Tema yang bisa digarap jumlahnya banyak. Teramat banyaknya.
Janganlah kita memaksakan tema yang kita gemari, yang kita anggap terpenting, pada orang lain. Pemilik restoran sate kambing, terlepas dari soal kadar protein dan lemak daging kambing yang tinggi, jangan memaksa orang membuka pembakaran sate kambing di mana-mana, dan mengumpat tukang gado-gado dan bakul pecel.
Semakin banyak ragam rumah makan, semakin bervariasi nilai gizi yang ditawarkan pada bangsa. Akan halnya kelezatan makanan, para pengunjung restoranlah yang menentukan.
Keindahan yang Menautkan Jiwa kepada-Nya
Buatlah kesenian atau kesusastraan yang membuat orang jadi ingat Allah senantiasa. Ciptakan bentuk dan isi keindahan yang membuhul orang dalam hubungan tak putus-putus dengan Allah.
Memang, inilah dhikrullah.
Patok pengukuran keindahan kita adalah pada garis tegak dzikrullah ini, garis lurus mengingat Dia. Dia yang tak bersekutu dan tidak dipersekutukan, tak berbilang tak berbagi, tak direvisi, mutlak Satu, hanya Satu, Esa sebenar Esa.
Dia yang sudah ada sebelum kata ada, Dia yang akan tetap ada sesudah kata ada tak ada.
Keindahan yang kita tuliskan adalah coba-coba tak kunjung usai dalam meniru, mendekati dan menggapai keindahanNya. Inilah rangkaian percobaan dalam masa dinas sastra kita yang luar biasa pendek di atas setitik debu di alam semesta ini, menjelang masuk ke pintu gerbang hari akhir yang tak ada penghabisannya itu.
Harga seluruh karya sastra debu ini Rp. 1, harga hari akhir Rp. ~. Di atas debu itu kita, yang cuma penumpang sementara, yang sibuk sesibuk-sibuk mengurus debu itu, tunggu yang tercebol-cebol, virus yang tersaruk-saruk…..
Mengarungi Setapak Sunyi Menuju Mardhatillah
Hidup ini sepotong sajadah. Sajadah kita terbentang dari kaki buaian ke tepi lahat. Acara utama hidup kita adalah shalat.
Kegiatan-kegiatan lain itu menyela-nyela di antara waktu shalat kita. Diperlukan ketabahan dan kekukuhan untuk menjabarkan kegiatan-kegiatan lain itu sebagai derivat dari shalat.
Pusaka paling mahal dari Rasulullah Muhammad s.a.w. adalah akhlaq teladan. Kita kenang beratus misal dari sifat lelaki Al-Amin itu yang rendah hati, adil, sederhana, pemaaf, ramah, bersangka baik, bertutur-sapa lembut, pendengar pendapat lain, dermawan, penolong, penyabar, pemegang amanah, kukuh, shaleh, cuma bicara seperlunya.
Ini tidak mudah
Di antara kesulitan demi kesulitan di dunia kita hari ini, kita cobalah menganyam serat-serat akhlaq teladan ini di jaringan kesenian dan kesusasteraan kita, menjadi alas dan bubungan rumah kesenian dan kesusasteraan kita.
Kita pasang sejumlah rambu dan pagar untuk diri kita sendiri dan siapa pun. Kubangan paling berbahaya adalah riya, kegemaran pamer dan tepuk dada, yang berdempetan dengan rasa takjub pada kelebihan diri sendiri, diucapkan atau tidak diucapkan.
Di belakangnya terdapat pula kubangan dengki dan kubangan balas dendam.
Mari kita periksa baik-baik sarana dan alat kesenian kita, asal-usulnya, lalu kita gosok dia, cuci, bilas lalu keringkan.
Semua harus resik betul-betul
Bersastra itu suatu proses berbuat, proses beramal. Seperti dalam pelaksanaan amal-amal shaleh lainnya, dalam hal inipun kita bersungguh-sungguh, cermat, teliti, tekun dan khusyu’.
Pada akhirnya, mudah-mudahan dalam perjalanan ini segera kita menemukan jalan mardhatillah dalam peta bumi edisi zaman kita ini, yang menawarkan sedemikian banyak jalan raya, jalan layang, jalan tol dan jalan pintas yang progresif. Mungkin jalan mardhatillah ini cuma setapak, lewat pedesaan, membuat penat dan sunyi pula.
Tapi tak apalah
Yang penting kita beramal terus, tak putus-putusnya bersyukur dan teguh dalam keyakinan. ***

25 Maret 2025
Pengasuh: Gus. Riza / Kolektor Benda Bersejarah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Alias Kakek Kandung
Leave a Reply