SISIPAGI – Menikah, akhirnya memiliki buah hati. Dibaliknya menyimpan isu fhaterless.
Anak alias disebut juga buah hati. Beredar kabar tentang sesuatu yang meresahkan kita semua. Isu fahterless alias hilangnya sosok ayah dalam bangunan rumah tangga semakin marak terjadi.
Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan angka fatherless menembus 99%. Hanya ada 1% keluarga di negri kita memiliki sosok dan peran ayah yang signifikan.
Untuk itu keresahan saya sebagai penulis menyiapkan sesuatu sebelum menikah. Ya imaji tentang memiliki buah hati tentang bagaimana boanding dan bisa lekat dengannya itu jadi sebuah imaji melekat tersendiri.
Sekilas pengamatan tentang pernikahan
Saya tidak ingin bicara pengalaman pernikahan (iyalah menikah aja belum hehehehe). Nah, mari kita sama-sama bicara tentang pengamatan pernikahan.
Tentu masing-masing diantara kita memiliki pengamatan bahkan ada juga yang sudah berpengalaman berbeda-beda. Tentang apa yang kita sebut dunia pernikahan.
Artinya pengamatan saya tentu akan bias dengan hal subjektif berdasarkan apa yang saya lihat baik dari orang terdekat, teman-teman, hingga sepintas lalu meneropong dunia pernikahan.
Terakumulasilah semua yang saya lihat dan pernikahan menurut saya adalah sebuah rumah besar lagi panjang. Ada perjuangan panjang dan ada kelapangan dada yang teramat lebar.
Tidak sedikit saya menyaksikan pernikahan selesai karena disebabkan tidak sabarnya salah satu pihak atau bahkan saling tidak sabar. Lalu, ada juga yang berakhir di 10 tahun pernikahan karena tidak ada kelapangan dada. Salah satu tidak romantis menurut salah satu pihak akhirnya ini menjadi acuan untuk berakhirnya bahtera pernikahan.
Fatherless dan kasih yang tak sampai
Sepakat kita semua bahwa patah hati adalah satu hal yang menyakitkan. Hal ini pengecualian untuk mereka yang bodo amat dan buru-buru mencari lagi dikarenakan mudah mengagumu. Ini lain cerita ya.
Patah hati kali ini saya ingin membahas tentang seorang anak kepada orang tuanya. Baiklah kita lupakan pembahasan sebelumnya tentang sekilas pernikahan yang berujung pisah karena dua hal ketika saya mencoba mengamati.
Seorang anak yang kehilangan sosok ayah atau bahkan ibu adalah patah hati terhebat yang barangkali tidak disadari secara penuh. Anak akan tumbuh dengan kekurangan kasih sayang alias memilihi hidden need rasa sayang berlebih ketika dewasa nanti.
Anak perempuan dengan isu fatherless akan membawa dampak panjang. Iya akan mencari bahkan ketika mendapatkan sosok laki-laki sebagai pasangan maka tuntutan akan hidden need kasih sayang berlebih terjadi. Lelaki akan mengalami kelelahan dan rasa beban berat kelak nantinya jadi bom waktu tersendiri.
Imaji dan ketakutan
Saya menaruh ketakutan tersendiri ketika imaji tentang memiliki seorang buah hati kelak. Maaf tulisan terkesan membawa saya jauh menghayal. Untuknya saya memilih kata imaji.
Kembali, ketakutan terbesar saya adalah ketika tanpa sadar menjadi sosok ayah yang menyebalkan. Ketika anak saya kelak tak ingin bercerita, tak mau ngobrol cair dari bercanda hingga hal-hal lebih dalam atau anak sekarang menyebutnya deep talk. Maka inilah ketakutan tersendiri dalam imaji saya.
Melekat kuat akan gagalnya menjadi sosok yang tak mampu membuka obrolan, tidak bisa merangkul atau menjadi lapangan paling nyaman berlari sang anak. Utopia sekali, berlebihan memang tapi inilah keadaan pikiran kini tentang imaji terbangun.
Pada akhirnya: Kita hanya bisa berbenah
Isu fatherless, tentang relationship yang tak tentu arahnya lagi betapa mahalnya hubungan bisa bertahan. Dampak dari kesetian dan kemauan menjadi sosok ayah hadir bagi buah hati adalah sebuah tantanga.
Tak perlu kawatir atau jadi beban pikrian. Akhirnya tersisa satu asa tentang bagaimana berbenah dan mempersiapkan. Semua kesiapan tentu dengan ilmu pengetahuan.
Menjadi pembelajar lalu terus berbenah demi satu asa dan cita bahwa kelak kita tak lagi menjadi momok bagi buah hati. Ia hidup dalam pola asauh penuh kasih. Penuh sayang dan tidak lagi mengemis kasih sayang dalam jangka waktu lama lagi meresahkan.
Salam.
>>>
* tayang sebagai artikel highlight di laman kompasiana pada 22 Septemebr 2024.
>>>
Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan kontribusi buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: kontribusi dunia kepenulisan , terimakasih.
Terima kasih atas pemikiran yang dalam dan reflektif ini. Memang, isu fatherless sangat kompleks dan bisa memberi dampak besar pada hubungan. Namun, seperti yang kamu katakan, penting untuk tidak terjebak dalam kekhawatiran dan beban pikiran. Setiap usaha untuk berbenah dan mempersiapkan diri demi memberikan kasih sayang yang penuh kepada anak adalah langkah positif.
Menjadi pembelajar seumur hidup adalah kunci untuk menciptakan pola asuh yang baik. Dengan pengetahuan dan kesadaran, kita dapat berusaha untuk menjadi sosok ayah yang diharapkan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk buah hati. Semoga semua orang tua dapat menemukan cara untuk memberikan kasih sayang dan dukungan yang dibutuhkan anak-anak mereka, sehingga mereka dapat tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta.
Iya bung. Saya percaya berbenah itu bisa banget. Isu fatherless semengerikan itu kata gen Z wkwkwk. Kita bisa belajar bareng di medium ini ya. Saling ingatin untuk polusi dan ancaman ketahanan keluarga. Sosok ayah genting banget kehadirannya. Thanks bung dah komen
Kalau saya pribadi ngerasain banget masalah ini. Anak2 minim sekali merasakan kehadiran ayahnya dalam segala bentuk. Notabene hanya melihat ayah sebagai sosok yang pergi dan pulang kerja saja
iya benar lagi. Ada satu buku tentang parenting buku berbahasa inggris lupa judul bukunya. Intinya di sana disampaikan untuk membangun kebiasaan kecil dirumah sesimpel ayah memperlihatkan kebiasaan memeluk istri didepan anak-anak itu transfer kasih sayang paling ampuh. Setelah meluk istri baru giliran meluk anak2. Ini mantra paling ampuh dalam ketahanan kasih sayang dalam keluarga.
Makasih ya kak dah komen.
Sebenarnya sekarang kaum ayah sudah mulai aware dengan perannya sebagai ayah. Namun, memang masih minim ya.
Saya merasakan lebih parah melihat fenomena di kampung dulu. Bahkan, saat anak tetangga saya haid pertama, ayahnya bilang “kamu lagi kotor”. Diiringi dengan sikap menjauhi bukan malah memberi edukasi.
kasus ini masih ada hari-hari ini. Saya coba melihatnya sebagai kekolotan seorang ayah. Terkesan feminis banget tulisan saya seolah menyerang patriarki. Tapi bahaya sih hal-hal kolot semacam kasus yang kakak tulis.
makasih banget udah komen. Ini jadi masukan untuk tulisan berikutnya.
Saya setuju bahwa tak perlu khawatir dan ketakutan berlebihan hingga menjadikan pernikahan sebagai hantu, melainkan perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya jasmani maupun rohani, dan belajar dari yang sudah ada agar tak mengulang kesalahan yang sama.
pernikahan awalnya keberkahan karena kompleks akhirnya jadi fenomena yang menakutkan ya. lagi dan lagi kematangan persiapan adalah hal terpenting. Kasus pernikahan dibawah umur jadi momok jangka panjang itu realitas kan ya. Ini isu lain yang menarik juga. Makasih kak komennya jadi insight menarik lainnya.
makasih
Idealnya menikah itu bikin kita bahagia. Tapi, realitanya menikah itu sama seperti kehidupan lain yang punya pasang surut dan tak seindah drama-drama. Apalagi setelah ada kehadiran anak, tak lagi bisa sendiri-sendiri, peran kedua orang tua akan sangat dibutuhkan untuk perkembangan kehidupan mereka.
setuju banget lagi. Peran kedua belah pihak jadi hal krusial, pernikahan dimaknai jauh dari arti sejatinya. Sependek pemahaman saya, pernikahan ya jalianan dua peranan untuk tujuan keberkahan. Nah, keberkahan di sini selalu dimaknai yang indah-indah. Lupa bahkwa sabar dalam hal buruk atau tidak nyaman adalah keberkahan juga dengan pintu sabar. Maafkan nuansanya nasihat, anggap aja yang ngetik itu paman-paman kita di warkop sedang nasihatin ponakannya wkwkwkwk. Thanks mba udah coment.
Isu fatherless ini memang seharusnya menjadi perhatian kita semua ya. Karena fatherless di sini bukan hanya untuk anak yang kehilangan sosok ayah dalam arti ayah meninggal atau orang tua bercerai namun juga untuk anak dengan keluarga lengkap namun ayahnya tak memiliki waktu untuk anak tersebut. Apalagi sekarang semakin banyak kita menemukan kasus-kasus terkait isu fatherless ini.
Betul sekali. Karena ada wujudnya tapi tidak ada secara emosi.
Sentuhan emosinya kurang ya bung. Bahkan terkesan formalitas, bayangkan sosok ayah hanya formalitas. Apa jadinya generasi kita bung?
Isunya nyata tapi masif diabaikan oleh kebanyak kita. Makasih komennya mba
Terjadinya fatherless ini bisa gak sih disebabkan juga sebelum nikah dan setelah menikah, si prianya memang belum siap menikah? Sehingga ketika punya anak, makin gak siap lagi. Namun bila gak siap, kenapa pula dia menikah?
Iya sih ya. Lagi dan lagi ini masalah pola asuh yang berdampak panjang. Pola asuh yang selalu mendelegasikan tanggung jawab itu penting kali ya. Biar rasa tanggung jawab sejak dini diberikan agar kelak tidak jadi bom waktu kala sejak dini anak-anak itu dimanja eh tuanya lupa sebenarnya mereka punya tanggung jawab. Maafkan kalo sok2 jadi paman yang bijaksana wkwkwk. Makasih dah komen guys.
Dulu aku kecil mengalami fatherless yang dampaknya sampai ke masa dewasa dalam mencari pasangan aku sukanya sama yang lebih tua dan suami aku beda usia 6 tahun tapi aku bersyukur anak2ku gk mengalaminya karena suamiku adalah bapak yang baik buat anak2nya..buat aku efek fatherless tuh sangat mempengaruhi psikologis dan bkin mental down..
MasyaAllah berkah mba keluarganya. Semoga nular ke keluarga-keluarga lainnya semakin sadar hadirnya sosok ayah. Aaamiin. Thnks udah komen
menikah memang butuh kesiapan ekstra, terutama kita sebagai laki-laki sudah harus bisa nerima kekurangannya. tapi aku ada beberapa teman yang cari istrinya lebih tua, karena dia pengen diayomin wkwkw..
Setuju sih. Harus punya kesiapan mental dll. Makasih bung dah komen
Beneran deh, sebelum dan sesudah punya anak tuh beda banget. Apa yang saya bayangkan sebelumnya ternyata praktiknya… Beuh!
gile… semoga kuat2 semuanya ya. Aaamiin, makasih dah komen
Generasi fatherless kalau menurut saya merupakan salah satu dampak dari budaya patriarki yang menempatkan hanya perempuan yang mengurus anak sementara pria hanya bekerja. Akibatnya ya begitu. Padahal pernikahan terdiri dari dua orang, parenting semestinya kedua pihak. Semoga makin banyak pencerahan agar pria tak terkotakkan dalam dunia hanya sebagai tukang cari uang. Namun sebagai figur ayah dalam keluarga.
Saya menemukan banyak kasus justru perempuan lebih “jago” ngasilin duit dibanding pria. Makanya pria harusnya sadar dan jangan sok “berkuasa” si paling pencari nafkah. Ehhh sorry ini nasihatin diri saya sendiri ya wkwkwkwk. Makasih udh komen
Perspektif menarik tentang ekspektasi dan imajinasi yang sering terbentuk sebelum pernikahan. Harapan yang kadang terlalu ideal dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap hubungan. Penting untuk memahami bahwa pernikahan memerlukan keseimbangan antara realitas dan imajinasi.
Iya bung saya lagi belajar menemukan titik tengah antara idealis dan pragmatis. Pun soal imaji dengan realitas juga perlu menemukan titik tengah, agar terus belajar tanpa menghakimi kenyataan berlebihan. Kalo pandangan saya kurang tepat mari kita diskusikan terus bung. Salam, dan makasih untuk komentar menariknya.
Selama peran dijalankan sesuai perintah agama, inshaAllah masalah atau kendala saat berperan di rumah tangga ada jalan keluarnya. Ya gak sih? *cmiiw
iya lagi. Makasih dah komen guys
saya setuju bahwa kita memang tak perlu khawatir menghadapi sebuah pernikahan tetapi isu-isu yang terjadi di masyarakat tentang pernikahan termasuk didalamnya soal fatherless ini menjadi pendorong kekhawatiran juga bagi beberapa orang, namun yang harus kita tanamkan agar tidak takut bahwa setiap orang punya jalan masing-masing hidupnya dan juga dari awal harus hari-hari dalam memilih pasangan, sisanya serahkan ke Tuhan saja
Iya ketakutan itu pada akhirnya buat kita melihat “kaca” pembenahan. Yang kita ubah bukan orang lain dan keaadan tapi diri kiti sendiri, akhirnya. Makasih kak udah komen
Wah, artikel lo relate banget bro, isu fatherless emang ngeri sih. Semoga kita bisa jadi ayah yang selalu hadir buat anak-anak nanti. Keep writing!
Thnks bro. Ini dateng dari keresahan sendiri, takut aja kalo gak bisa jadi sosok ayah sesimple gak bisa bgobrol sama anak saat mereka bertumbuh hingga dewasa itu ketakutan sih. Takut aja jadi sosok menyebalkan besok. Semoga ketakutan itu gak pernah ada. Aaamiin. Makasih bro dah komen
Isu fatherless ini memang meresahkan ya
Padahal kehadiran ayah dalam pengasuhan itu penting banget
setuju sangat meresahkan. Hanya saja harapan akan kesadaran ini gelombangnya lebih besar agar kelak isu ini tak jadi “gosip” meresahkan. Makasih dah komen kak
Jujurly sebelum menikah pun saya merasakan ketakuttan itu. Apakah nantinya anak kami akan fatherless? Soalnya saya mengalami sendiri. Selain itu, ada ketakutan yang dulu saya ogah-ogahan nikah, apakah nantinya kami sefrekuensi? Karena saya menyadari, emosi dan mental saya kala itu benar-benar naik turun.
Perasaan ditolak itu memang memiliki dampak tersendiri. Hal ini mungkin selalu tabuh untuk dibicarakan, padahal berani mengungungkapkan perasaan ditolak itu saja menyehatkan. Perlu rasanya untuk tidak tabuh saling mengungkapkan perasaan satu sama lain. Thanks udah komen kak
Menikah memang harus banyak pertimbangan, karena sebisa mungkin sekali seumur hidup. Jadi harus bener bener siap, tapi kalau udah ada yang klop jalanin sih menurutku..
setuju banget. learning by doing saat menjalani bahtera pernikahan itu the other part of romantic in relationship. makasih dah komen kak