Sepak Bola, Agama, dan Ego Manusia

Sepak Bola, Agama, dan Ego Manusia
Property of Sisipagi

Refleksi— Baru baru ini Indonesia “berduka” karena terbantai oleh Australia diajang kualifikasi piala dunia. Kita ditekuk 5–1 hehehe.

Namun kali ini kita tidak fokus membahas fenomena kalahnya timnas. Tapi, lebih dari itu sepak bola bisa menjadi refleksi bersama diantara uraian tentang manusia dan agama bahkan pelajaran akan hidup.

Selamat menikmati! Sederhananya uraian kali ini.

Manusia dan Agama: Tak Terpisahkan Sejak Dulu

Manusia selalu butuh pegangan. Dari zaman prasejarah hingga era digital, manusia mencari sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Itulah mengapa, menurut Hull, manusia tak akan pernah bisa benar-benar lepas dari agama. Tapi agama macam apa yang bisa bertahan di masa depan?

Jawabannya: agama yang bisa berjalan seiring dengan ilmu pengetahuan. Jika tidak, ia akan tergilas oleh zaman.

Islam, misalnya, sejak awal telah menekankan pentingnya ilmu. Ayat pertama yang turun justru perintah untuk membaca — “Iqra’!”.

Tapi kini, banyak yang terjebak dalam dogma tanpa pemahaman. Di satu sisi, ada yang menganggap sains sebagai ancaman. Di sisi lain, ada yang menjadikan sains sebagai “agama” baru.

Mungkinkah ada jalan tengah?

Fanatisme: Ketika Sepak Bola Menjadi “Agama” Baru

Dari sains dan agam mari kita beranjak ke sepak bola dan agama. Adakah fanatisme di dalamnya?

Mbah Nun pernah menulis, Honduras bisa perang gara-gara sepak bola. Stadion Heissel Belgia rusak dan Juventus bagai meng-“agama”-kan sepak bola.

Orang membela klubnya seperti maju Perang Salib. Juventus, lewat tragedi Stadion Heysel, menunjukkan betapa sepak bola bisa menjadi agama baru bagi sebagian orang.

Fanatisme dalam sepak bola mirip dengan fanatisme dalam agama. Sama-sama mengorbankan logika. Sama-sama bisa membuat orang siap “berperang” demi sesuatu yang diyakininya.

Lihatlah bagaimana suporter garis keras bisa saling serang hanya karena klubnya kalah. Bukankah ini mirip dengan bagaimana kelompok-kelompok radikal mempertahankan keyakinannya dengan kekerasan?

Jika agama dan sepak bola sama-sama bisa membentuk fanatisme buta di mana letak keseimbangannya. Sebuah refleksi mendasar untuk kita semua

Bayi dan Ego Manusia: Pelajaran dari Tangisan Kecil

Gus Mus punya perumpamaan yang menarik. “Lihatlah, bayi-seperti menyadari kehidupan dan kekuasaannya-begitu tak peduli terhadap sekelilingnya. Yang penting semua keinginannya terpenuhi. Setiap kali dia ‘menunjukkan kekuasaannya’ dengan senjatanya yang cukup ampuh: menangis!”.

Bukankah manusia dewasa juga sering bertingkah seperti ini? Dalam politik, agama, bahkan kehidupan sehari-hari, kita sering merasa dunia harus berputar sesuai kehendak kita.

Kita marah jika pendapat kita tak didengar. Kita tersinggung jika ada yang berbeda. Menuntut dunia menyesuaikan diri dengan kita, bukan sebaliknya.

Padahal, semakin dewasa. Sejatinya kita makin sadar bahwa dunia ini lebih luas dari sekadar keinginan pribadi.

Belajar pada Sejarah: Jalan Tengah yang Hilang

Dulu, Islam pernah menjadi pusat peradaban ilmu. Baghdad dan Andalusia menjadi rumah bagi para ilmuwan besar.

Mereka tak melihat sains dan agama sebagai dua kutub yang berlawanan. Tapi zaman berubah. Perlahan, peradaban itu meredup. Fanatisme mulai menggantikan pemikiran terbuka.

Hal yang sama terjadi dalam sepak bola. Dulu, ia sekadar hiburan dan olahraga.

Kini, ia bisa menjadi ajang pertempuran emosi. Sama seperti agama yang seharusnya menjadi cahaya, jika tak arif dimaknai maka ia akan menjadi bumerang tersendiri.

Ke Mana Kita Melangkah?

Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana: ke mana kita ingin membawa agama, ilmu, dan kehidupan kita? Apakah kita akan terus terjebak dalam fanatisme dan ego seperti bayi yang menangis minta perhatian?

Ataukah kita akan tumbuh menjadi manusia yang lebih dewasa, yang bisa melihat perbedaan sebagai harmoni, bukan ancaman?

Seperti kata Hull, agama yang tak selaras dengan ilmu tak punya tempat di masa depan. Mbah Nun bertutur, fanatisme bisa menghancurkan segalanya, bahkan di hal sepele seperti sepak bola.

Gus Mus mengingatkan, manusia yang tak belajar mengendalikan egonya tak ubahnya bayi besar yang terus menangis. Lantas, kita mau jadi yang mana?

Salam.

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.