WAKTU: Sesuatu Paling Berharga

WAKTU: Sesuatu Paling Berharga
Andrik Langfield / unsplash

Sisipagi – Teringat masa-masa kuliah dulu. Jika bisa diulang kembali maka saya akan membaca buku 10 jam per hari.

Mengapa demikian? Tentu saja karena saat ini saya akhirnya berkecimpung di dunia media rintisan saya sendiri. Kemudian keadaanya memaksa saya harus menulis serta mengkurasi tulisan setiap hari.

Belum lagi saya juga menjadi kurator buku, majalah hingga koran tua. Artinya saya harus menulis tiap hari minimal satu artikel ditambah menyiampkan draft buku saku sebagai target pribadi per bulannya.

Bayangkan jika kuliah dari strata 1 hingga 2 ditambah ngajar 2 tahun total 10 tahun di Jogja. Kota pelajar lagi kota budaya, selama itu saya rasanya kurang memanfaat waktu di kota tersebut dengan baik.

Untuk itu saya menuliskan sedikit kontemplatif pemikiran tentang waktu. Diperkuat dengan kutipan ulama hingga para tokoh dunia tentang waktu. Selamat membaca!

Nilai Sebuah Waktu

Waktu adalah aset paling berharga. Setiap detik yang berlalu tidak bisa kembali.

Ulama sepakat mengungkapkan, “Waktu adalah nikmat yang agung dan pemberian besar. Hanya orang cerdas yang benar-benar memanfaatkannya.”

Syaikh Jamaluddin al-Qasimi (1866–1914 M). Ia dikenal sebagai sosok yang haus terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di usia 14 tahun ia sudah sangat aktif mengajar dan menulis. Baginya, tak ada waktu untuk menganggur. Waktu terlalu berharga untuk disia-siakan.

Sadar akan nilai waktu berarti memahami bahwa setiap momen memiliki makna. Betapa berharganya barang yang cepat berlalu itu. Ya, waktu tidak bisa ditukar dengan apapun, lalu kita sama-sama menyadari bahwa waktu tak bisa dibeli lagi agar kembali.

Sains dan Filsafat Melihat Waktu

Secara ilmiah, waktu adalah dimensi keempat yang menyertai ruang. Albert Einstein dalam teori relativitasnya membuktikan bahwa waktu bisa berubah tergantung kecepatan dan gravitasi.

Artinya secara sains membuktikan bahwa hanya kecepatan yang bisa mengubah waktu. Ini sindiran saintifik bahwa orang lelet alias lambat tidak akan pernah mengalami perubahan artinya jalan di tempat. hehe.

Secara filosofis, waktu sering dikaitkan dengan makna hidup. Filsuf Romawi, Seneca, berkata, “Bukan waktu yang sedikit, tapi kita yang menyia-nyiakannya.”

Dalam filsafat Timur, waktu dianggap sebagai bagian dari siklus kehidupan yang harus dihargai. Menghargai waktu berarti hidup dalam kesadaran penuh dan tidak terjebak dalam masa lalu atau terlalu khawatir akan masa depan.

Waktu dan Kesehatan Mental

Mengatur waktu dengan baik bisa meningkatkan produktivitas dan kesehatan mental. Penelitian, Journal of Applied Psychology menyebutkan bahwa orang yang mengelola waktu dengan baik mengalami peningkatan kualitas hidup hingga 25%.

Ini membuktikan bahwa disiplin dalam waktu berpengaruh besar dalam hidup. Dengan disiplin kita akan meningkatkan banyak kesejahteraan diri, tidak hanya uang ternyata juga mental.

Bukankah mental yang sehat adalah investasi berharga dari sendi kehidupan kita yang kian kemari makin pelik. Sederhananya, menjadi manusia zaman ini justru makin stress dan ini bahaya untuk mental kita.

Refleksi diri di Era Digital

Di zaman digital, waktu sering terbuang sia-sia. Media sosial, video streaming, dan aplikasi lainnya bisa membuat kita kehilangan berjam-jam tanpa sadar. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam kebiasaan menunda pekerjaan atau procrastination.

Jurnal, Psychological Bulletin menunjukkan bahwa hampir 95% orang mengalami procrastination. Hal ini berpengaruh negatif pada produktivitas dan kesejahteraan.

Tantangan lainnya adalah tekanan untuk selalu aktif. Banyak orang merasa harus selalu merespons pesan dengan cepat, mengikuti tren terbaru, atau terus-menerus bekerja tanpa henti.

Hal di atas justru membuat kita kehilangan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih berarti. Sebut saja, kita tak mampu lagi refleksi diri di era digital ini.

Sampah Waktu Kita

Pernah dengar istilah memanfaatkan lima hal sebelum lima hal? Salah satunya adalah “waktu luang sebelum sibuk” eh sempit maksudnya. Sedikit tamparan untuk kita yang sok sibuk hehehe.

Bukankah kita selalu memproduksi “sampah” waktu, layak untuk kita buang? Yuk kita renungi masing-masing apa itu sampah waktu kita.

Benjamin Franklin pernah berkata, “Waktu yang hilang tidak akan pernah ditemukan kembali.” Pertanyaannya, bisakah waktu yang telah menjadi sampah bisa didaur ulang?

Salam.

Griya Kenanga, Kwaron, Jombang

Writer, Lecturer, Editor: Keseharian menulis, dosen tamu di dunia jurnalistik dan menyusun buku berbagai isu.