Penulis bersenjatakan melalui pena goresan kata-kata, sedang pelukis dengan lemparan warna tinta. Keduanya adalah seniman yang sedang beretorika.
Izinkan saya menggores retorika pada edisi perdana di Series: Sosial “Story” Teller media kami. Goresan ringan sebagai bacaan juga persembahan keindahan sebuah kata-kata. Selamat membaca!
Menulis: Menelisik sebuah Rayuan
Tulisan kali ini datang dari kegundahan diri. Penulis atau pembaca buku sering tertuduh “kutu buku”.
Padahal mereka lupa menulis alias penulis itu memiliki pendekatan seni tersendiri.
Penulis juga bisa beretorika. Inilah seni dalam menulis, tidak hanya merangkai kata. Melainkan ia memiliki “retorika” nya hemat saya.
Retorika adalah Nafas Tulisan
Aristoteles sang filsuf Yunani kuno itu memberikan gambaran jelas arti sebuah retorika. Baginya retorika adalah alat persuasi untuk setiap keadaan dan ini merupakan sebuah seni.
Menulis sendiri adalah sebuah kondisi dan keadaan. Melakukan sebuah pendekatan persuasi di dalamnya maka penulis sudah menjalankan sebuah seni.
Menarik untuk kita urai lebih jauh tentang retorika dalam menulis. Sederhananya, melakukan perenungan dalam menuangkan kata hingga ada ajakan lembut alias persuasif penuh pendekatan hata secara reflektif. Inilah retorika dalam menulis diantaranya.
Secara pribadi sadar atau tidak saya terkadang menggunakan pendekatan retorik dalam menulis. Artinya syarat dengan sebuah ajakan alias bujukan.
Bujukan dengan penuh penjiwaan mendalam. Inilah yang menyebabkan tulisan memiliki dimensi kemanusiaan.
Alam Pembaca: Dunia yang Perlu Disapa
Untuk itu menulis dan fenomena menulis hari-hari esok. Saya menitipkan gagasan sebagai usulan untuk senantiasa menulis dengan menghadirkan retorikanya sendiri tiap penulisnya.
Bukan saja bicara dan menyampaikan informasi, paparan wawasan, hingga data dan temuan mutakhir. Petikan narasinya akan melantun, tulisan disuguhkan mengandung “energi” atas pekat dasar wacana-wacana, hingga alam pikiran.
Wacana berpikir diperlukan untuk melahirkan alam pikiran. Menulis adalah jembatan bagi badannya.
Inilah letak seni dalam sebuah kepenulisan. Namun satu hal, seni itu sendiri harus menemukan keselarasan dengan alamnya dalam hal itu penulis menyapa pembacanya.
Menemui pembaca melalui tulisan itu penting. Namun tak kalah penting ialah tetap menyelami realitas atau hal-hal yang berlakangan dan akan datang masih relevan dengan pembaca. Anak-anak generasi hari ini menyebutnya, “relate”.
Hal di atas itulah yang saya sebut alam pembaca. Sesuatu yang lekat dengan mereka bahkan mereka alami sehari-hari.
Menulis dengan Intuisi Keindahan
Penulis adalah seniman, memainkan intuisi, menulis secara mendalam untuk suguhan pembaca. Tak lupa ia juga menyajikan keindahan dibalik “dinding-dinding” kata.
Selain penulis itu candu membaca dan belajar. Untuk itu seorang penulis selalu mampu menentukan cara sendiri untuk menulis indah versi mereka masing-masing.
Retorika itu Ditentukan oleh Penulisnya sendiri
Dalam essainya Roem Topatimasang berjudul “Sekolah di Sana-sini”, memaparkan bahwa siswa di sebuah sekolah itu bebas memilih dan memetak sendiri apa yang mau mereka pelajari, caranya, hingga hasilnya mereka yang menentukan sendiri.
Demikian pula dengan seorang penulis. Bebas belajar dan menuliskan apa saja. Hasilnya adalah karya seni yang mereka nilai sendiri.
Sekali lagi dalam dunia kepenulisan yang perlu diingat adalah menulis selain bebas menggores pena dengan caranya sendiri. Dunia ini memiliki seni dan retorikanya.
Alinea Penutup
Menulislah, selami alam pembaca, lalu tentukan cara sendiri dalam menggores pena. Maka disanalah retorika penulis akan tumbuh.
Salam,
Tebuireng, 20/5/25
Sebuah Persembahan: Sisipagi Media Group. Untuk kalian yang peduli penulis silahkan kunjungi laman berikut >>>>> Peduli Penulis




















Leave a Reply