Menulis dan nafas Pena

Menulis dan nafas Pena

Sisipagi.com – Terhitung beberapa pekan saya tidak menggores pena. Rasanya kehilangan arah, seperti orang yang tak mengerti arah kemana lagi harus melangkah.

Sebegitu pentingnya menulis bagi saya secara pribadi. Ada yang kurang dan terasa tidak lengkap menjalani hari.

Menulis sebagai dahaga yang terus haus mencari pena peneguknya. Begitulah nafas pena dan tinta di hati ini, hari-hari tanpa aktivitasnya begitu kosong di dada. Ada yang hilang.

Hari yang hampa tanpa tulisan

Menuliskan catatan dini hari ini adalah sebuah curahan hati, jika bicara perlu didengar maka aliran pena kali ini bersyukur rasanya jika ada yang berkenan membaca walau satu mata sahaja.

Sebuah ungkapan yang amat melegenda dari bung Hatta, kala beliau dipenjara. Beliau berujar dengan tegas. Bahwa, kalian boleh memenjarakan tubuhku, tapi tidak dengan pikiranku, selagi ada buku dan tinta maka sejatinya aku masih merdeka.

Banyak kisah heroik dari bapak bangsa kita, para ulama yang tidak pernah berhenti menulis dan membaca bahkan di dalam sel tahanan sekaligus. Mereka selalu dituding ekstrimis dan pemberontak kala suara kritis mereka bertebaran lewat tinta yang mereka goreskan kepada khalayak pembaca yang luas demi nasib nusa, bangsa dan agamanya.

Bayangkan sekelas Hatta dan Bung Karno. Bagaimana hampanya mereka tanpa tulisan dan bacaan barang sehari saja di hadapan.

Begitulah saya yang juga ingin tertular ruh perjuangan dari pendahulu tanpa terkecuali baik dari ulama maupun pejuang bangsa kita sendiri. Sekali lagi hari tanpa goresan pena adalah dahaga paling haus, ibarat berpuasa tanpa berbuka hehehe. Seret, haus dan matilah kita.

Syarat penulis, tiap hari nulis

Setiap profesi memiliki prasyarat mutlak. Jika kalimat ini terlalu tinggi bahasanya. Maka sederhananya setiap kerjaan memiliki syarat yang wajib dipenuhi.

Petani maka mencangkul setiap hari diikuti aktifitas lainnya di pertanian adalah hal wajib dilakukan. Begitupun dengan seorang penulis. Maka menulis tiap hari adalah sebuah kewajiban.

Saya setiap hari menulis, walau hanya mampu seratus kata per hari. Banyak penulis lainnya bisa seribu kata per hari .

Tentu tiap penulis punya target sendiri-sendiri. Semakin banyak kata yang diproduksi maka semakin absah ia menobatkan dirinya sebagai penulis.

Cinta bisa melampaui apapun bahkan dinding kematian

Slamet Rahardjo

Kutipan di atas menggentarkan dinding hati saya. Merenung dan mempertanyakan ulang, apakah menulis ini dilakukan karena cinta?

Pesan universal dari eyang Slamet Rahardjo ini sejalan dengan pesan yang pernah disampaikan mendiang eyang Habibie tentang cinta. Betapa cinta akan menembus dinding apapun. Kata mendiang, cinta akan melampaui dimensi apapun.

Begitulah dengan menulis. Kala pena yang digoreskan karena cinta. Maka ia akan menjadi warisan termahal setelah kematian.

Ada legacy yang ditinggalkan jika mengurai tulisan dengan cinta. Menulis yang ditulis dengan cinta maka akan sampailah dengan cinta.

Saya terbangun oleh ungkapan dua eyang di atas. Saya sempat berhenti menulis beberapa pekan karena sibuk memikirkan income yang tak kunjung datang.

Saya lupa bahwa cinta adalah income dan mata uang paling berharga. Jika harus menulis tanpa henti dan hanya mengharapkan mata uang cinta bisa jadi ini adalah ruh yang saya cari dan kawan-kawan penulis lain cari.

Harapan: Secercah Nafas Tulisan

Saya masih mempunyai asa untuk terus menulis. Kalaupun mengalami kebuntuan baik ide maupun semangat serta spirit menulis.

Kesemua di atas tentang kebuntuan ide misal tentu ini tidak akan lama. Lama bagi sebagian orang relatif, namun saya sendiri memiliki preferensi tersendiri. Jangan sampai berminggu-minggu, ini adalah alarm sekaligus ancaman bagi dunia kepenulisan saya pribadi.

Pada akhirnya saya memilih menyimpan asa dan juga spirit menulis yang tidak akan pernah padam api semangatnya. Sampai jumpa di komunitas TeMen (TemanMenulis). Semoga dalam waktu dekat bisa saya dirikan komunitas ini untuk kita semua.

Ada baiknya saya kutip satu ungkapan menarik dari seorang HOS Tjokroaminoto tentang menulis dan dunia kepemimpinan,

Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator

Bapak bangsa: HOS Tjokroaminoto

~~~

Untuk kalian yang peduli dan menikmati tulisan ini lalu berkenan kontribusi buat penulis, caranya? Silahkan klik laman berikut: kontribusi dunia kepenulisan , terimakasih.