Cerpen: Kampung Ru’o

Kampung Ru'o

Berkali-kali kukatakan akulah penguasa karena aku adalah Yako penggawa di kampung Ru’o.

Pagi itu Kampung Ru’o diselimuti kabut tebal hingga membuat jarak pandang terbatas. Potret semacam itu merupakan hal biasa, mengingat letak Kampung Ru’o yang berada di kaki gunung kerap kali diselimuti kabut. Seminggu belakang ini cuaca memang sangat ekstrim. Hujan mengguyur tanpa tahu arti berhenti.

Foto ilustrasi Kampung Ru’o

Bagi kaum tani mayoritas Ru’o, pada dasarnya hujan adalah berkah yang ditunggu-tunggu karena dengan begitu masyarakat tak lagi perlu repot-repot mengairi ladang secara manual. Namun, kali ini nahas cum bablas, sejak hari pertama selesai penanaman itu masyarakat yang semula merasa senang tersebab tanaman langsung disambut hujan, seketika dibuat resah alang kepalang. Salah satu pemuda kampung Ru’o bernama Ruso mengungkapkan keresahannya:

“Aku telah menghabiskan semua yang kupunya; membeli bibit jagung, pupuk, dan kebutuhan penunjang lainnya. Modal yang kukumpulkan dari hasil kerja buruh serabutan di pasar selama musim kemarau habis tak bersisa. Satu-satunya harapanku sekarang hanyalah bergantung dari hasil yang kutanam ini, tapi curah hujan yang bergitu tinggi menghancurkan semuanya,” sambil menghela nafas. Mayoritas masyarakat Kampung Ru’o berprofesi sebagai petani musiman di kala musim penghujan tiba. Sementara pada musim kemarau mereka bekerja sebagai buruh serabutan dan penjual di pasar Woni.

Suatu ketika seorang penggawa Kampung Ru’o bernama Yako menyambangi pasar. Ia ditemani dua orang pengawal setianya bernama Ndonga dan Mpara. Yako dan kedua kroconya itu setiap minggu kerap menagih upeti ke para penjual pasar Woni. Hal tersebut dilakukan karena Yako dianggap pernah berjasa membuka lahan pasar untuk penduduk Kampung Ru’o yang saat itu hidup di bawah garis kemiskinan, sangat memprihatinkan.

“Upeti, upeti, upeti, teriak Ndonga ke arah para penjual. Sementara Mpara bertugas menyodorkan sebuah benda berbentuk kantong untuk menampung uang upeti.

“Kau, mana kewajibanmu?”, Tanya Ndonga ke salah seorang penjual ikan bernama Mile.

“Maaf juragan, hari ini jualan saya belum satu pun yang laku. Kalau nanti sudah laku pasti saya bayar”, ucap Mile dengan wajah memelas.

“Kurangajar”, geram Yako sambil menggeplak kenap tempat tampi ikan dijajakkan. “Lihat yang lain! Mereka semua menyelesaikan kewajibannya, membayar upeti. Jadi, jangan macam-macam kau! Cepat serahkan upeti itu dan jangan banyak alasan!

“Sungguh juragan, saya belum ada. Saya janji nanti akan….

Belum selesai Mile menjelaskan, Yako menerjang tampi ikan milik Mile di depan wajahnya.  “Bruuk… Banyak alasan! Saya sudah peringatkan, selesaikan kewajibanmu!” Ikan-ikan itu berhamburan di tanah. Mile yang tak punya daya untuk melawan hanya bisa pasrah menyaksikan ikan-ikan jualannya tercecer bersimbah tanah.

“Ini yang akan terjadi jika kalian tidak membayar upeti”, ancam Yako kepada semua penjual di pasar Woni. Ia melanjutkan, “berkali-kali kukatakan akulah penguasa karena aku adalah Yako penggawa di kampung Ru’o. Selama aku masih berkuasa, maka kesepakatan harus tetap dijalankan. Begitu pun dengan aturan harus ditaati”, terang Yako dengan resam tubuh congkaknya.

Para penjual yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa berdiri cemas melindungi diri masing-masing sekaligus simpati—tanpa kuasa berbuat apa-apa—dengan keadaan Mile yang harus jadi sasaran amukan Yako dan kroconya. Beberapa dari mereka melampiaskan dengan cara mengepalkan tangan dalam kantong celana, sebagian yang lain hanya bisa menggigit rahang akibat suasan harubiru yang disebabkan Yako. Andai pun salah seorang berani melawan saat itu, saat itu juga keselamatan tak ada jaminan.

Foto ilustrasi pasar

Sejak peristiwa geger di pasar Woni itu semua penjual diwajibkan menyetor upeti. Setiap kali Yako dan keroconya datang, maka suasana pasar menjadi tegang. Tak satu pun di antara para penjual yang berani menentang Yako, hingga pada suatu ketika beberapa bulan setelah itu, peristiwa serupa kembali terjadi.

Ndonga menarik kerah baju seorang penjual sayur dengan kuat lalu memelintirnya, membuat ia tercekik. Tak berhenti sampai di situ, Ndonga melancarkan satu pukulan brutal ke penjual sayur yang tak berdaya itu hingga pelipis kanannya menganak darah.

“Ampun, Tuan, jangan pukuli saya”, Jerit penjual sayur memohon pengampunan. Bruuk,,,, lelaki itu menjelempah ke tanah akibat terjangan dari arah belakang yang sama sekali tidak ia sangka-sangka. Nampak seorang bertubuh tegap dengan otot dada membusung hampir menembus kaos polos yang dikenakannya tertawa kecut setelah melakukan perbuatan yang tak berperikemanusiaan pada lelaki penjual sayur itu.

“Hahaha,,, Aku muak dengan permohonan belaskasih dan pengampunan dari orang-orang yang tidak taat aturan seperti kau, bangsat. Aku datang ke sini bukan untuk menebar senyum, bukan untuk beramah-tamah, bukan pula untuk berbelaskasih kepada sampah macam kalian. Tetapi aku datang untuk mengambil apa yang telah menjadi kesepakatan kita bersama sejak awal”, Jelas Yako dengan mata melotot mengembara ke semua penjual pasar yang menyaksikan.

Pada mulanya, Yako memang dianggap berjasa karena telah membuka Pasar Woni demi bertumbuhnya sistem ekonomi baru di Ru’o yang notabene kampung miskin kala itu. Yako yang bertindak sebagai penggawa Kampung Ru’o tentu saja memiliki otoritas. Hal tersebut juga merupakan realisasi dari janji politik saat masa kampanye dulu tatkala ia terpilih menjadi penggawa Ru’o. Yako merekrut orang-orang berpengaruh dan dianggap tokoh atau tetua sebagai bagian dari tim pemenangan. Satu per satu orang-orang ditunjuk Yako mulai bekerja. Masing-masing membawa beberapa orang yang siap mendukungnya. Menjelang hari pemilihan, datang berendeng-rendeng masyarakat Kampung Ru’o di tempat pemungutan suara. Ada yang datang berpasangan suami-istri, ada yang datang dengan bayi yang masih menetek; tentu saja bayi itu belum cukup umur untuk memberikan hak suara, dan nampak pula satu keluarga lengkap datang dengan membawa hewan ternak yang ditarik nilon.

Masyarakat Ru’o tengah bersuka cita tersebab sebentar lagi akan ada penggawa baru yang diharapkan bisa memberi perubahan signifikan untuk Kampung Ru’o dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Di samping itu, mereka juga harap-harap cemas apabila yang terpilih nanti justru orang yang tidak bisa memberikan perubahan; yang malah melanggengkan penderitaan dan menjauhkan kesejahteraan masyarakat Ru’o. Ini akan menjadi petaka berkepanjangan.

Tiba saat pengitungan suara, riungan orang menyaksikan sambil berdesak-desakkan di tempat pemungutan suara. Mereka semua penasaran dengan hasilnya, siapakah yang terpilih? Kepulan asap menguar di antara kerumunan. Dari aromanya bisa dipastikan; daun kaung, ya, aroma asap lintingan daun kaung memang paling digemari di Kampung Ru’o.

Yakokoi!!

Sekali lagi, Yakokoi.

Terakhir, Yakokoi!!

Yakokoi atau Yako terpilih. Para pendukung gegap gempita merayakan kemenangannya. Mereka melakukan arak-arakan sepanjang jalan Ru’o hingga matari terlihat mulai menyusut.

Setelah terpilih, Yako membuka pasar yang dinamai Pasar Woni. Masyarakar Ru’o bahagia mendengar berita itu, bahwa sebentar lagi akan ada pasar di kampung tercinta. Yang artinya akan ada lapangan pekerjaan. Setelah Pasar Woni berdiri dan berkembang pesat, ia dan para panjual di Woni bersepakat agar tujuhpuluh persen dari keuntungan hasil penjualan perseorangan nantinya diberikan kepada Yako karena dianggap telah berjasa itu. Mulanya tak ada kesepakatan seperti itu. Para penjual dapat menikmati keuntungan utuh dari hasil penjualan, tetapi lambat laun kesepakatan yang dipaksa pun terjalin. Tujuhpuluh persen. Kesepakatan yang adil untuk ukuran orang yang berjasa menurut Yako. Tapi tidak untuk para panjual. Ini namanya pemerasan, bahkan lintah pun tidak menghisap darah sekeji itu.

“Bangun kau, keparat!”, bentak Yako melanjutkan siksaannya kepada penjual sayur.

Dengan pandang mata agak kabur karena wajah bersimbah darah bercampur tanah, lelaki panjual sayur itu berusaha bangkit dengan bertopang lengan. Pelan-pelan tubuhnya perlahan terangkat setengah jongkok, namun Mpara mendadak memaksa mengangkat tubuh lelaki penjual sayur itu dengan kasar untuk berdiri, persis seperti budak-budak masa penjajahan. Lelaki penjual sayur itu pun berhasil berdiri dengan sempurna, meski pun kedua tungkainya bergetar dan tubuhnya terlihat sempoyongan.

Yako kemudian berjalan mendekati lelaki itu dengan napas menderu. Ia cengkram rahangnya, menekan dengan jari sekuat tenaga membikin bibirnya monyong. Lelaki penjual sayur itu pasrah seolah menerima takdir dijadikan samsak tinju.

“Barangkali aku harus mencabut nyawamu sekarang juga, Pak Tua!” Damprat Yako dengan mata melotot cirikhasnya. Penjual sayur itu pasrah. Tak ada kalimat apa pun keluar dari mulutnya selain dengih napas pesakitan.

Yako mengangkat tangannya yang terkepal. Ia bersiap-siap melepaskan pukulan keras yang ke sekian kalinya. Barangkali pukulan yang akan mengakhiri riwayat si penjual sayur renta itu.

Yako melepaskan pukulan, namun tetiba tertahan. Terlihat sebuah tangan menahan lengan Yako dengan cengkeraman di belakangnya. Yako bersungut.

“Siapa yang berani-beraninya menahanku?!”

Bruuk,,, satu kepalan tangan mendarat menciumi cuping hidung Yako membuatnya tersungkur di tanah. Hidungnya berair darah. Sebuah jawaban yang tidak ia kehendaki datang dari seseorang yang tidak ia tanyai.

“Dasar penggawa kampung biadab! Rupanya ini yang kaulakukan di pasar selama ini. Mengatasnamakan jabatan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang kepada rakyatmu sendiri”, cecar Ruso dengan amarah. “Aku tidak akan membiarkanmu berbuat kegaduhan lagi!”.

“Kurangajar! Berani-beraninya kau memukulku. Kau pikir aku ini siapa, ha?!”

“Kau adalah tirani!”, Tetak Ruso.

Yako melihat Mpara dan Ndonga. Ia lantas memberi perintah: “kalian berdua hajar dia!”

Kedua keroco itu berlari maju untuk menyerang Ruso. Dengan lincah Ruso menangkap tangan Mpara, lalu menekuknya setengah melingkari leher kemudian menendang perutnya hingga membuat Mpara terguling, dan meringis kesakitan. Melihat Mpara yang terkena habokan, Ndonga mengambil balok kayu hendak diayunkan kepada Ruso. Tapi lagi-lagi dengan kelihaian berhasil dihindari. Percobaan pertama Ndonga, gagal. Ndonga melakukan percobaan serangan ke dua. Kali ini mengincar tengkuk leher Ruso. Namun, kembali gagal. Bahkan Ruso berhasil menendang tangan Ndonga sehingga balok yang digenggamnya terlepas. Ruso membalas menyerang dengan menyasar punggung Ndonga. Ndonga yang tak punya dasar beladiri pun tak kuasa menghindar, dan akhirnya Ruso menghajarnya habis-habisan tanpa ampun.

Para penjual Woni mulai mengangkat dagu. Satu per satu berteriak mengelu-elukan nama, Ruso. “Ruso,,, Ruso,,, Ruso,,,” menggema di selingkungan Pasar Woni. Di sisi lain, Yako yang masih mengerang kesakitan mulai ciut melihat dua anak buahnya tergeletak tak sadarkan diri sehabis dihajar Ruso. Tetapi ia sempat mengancam.

“Awas kau! Kau telah menganiaya pejabat, maka bersiaplah kau akan ditangkap”, ancam Yako kepada Ruso sambil memegang perutnya yang sakit terkena habokan.

“Kau yang akan ditangkap, pejabat biadab”, suara dari balik kerumunan menetak ancaman Yako. “Kau yang harus membayar semua penderitaan kami selama ini. Dan, hari ini adalah akhir dirimu”. Rupanya suara itu, suara Mile, orang yang pernah menjadi korban amukan Yako. Mile berlari ke arah Yako diikuti para penjual lain dengan amarah kesetanan, mengeroyok Yako hingga tak sadarkan diri. Setelah itu Mile dan yang lainnya membuang tubuhnya di tempat sampah.

Sebelum peristiwa klimaks di Pasar Woni, Ruso bersama sang istri, Wine, berniat membeli beberapa kebutuhan harian di pasar Woni. Karena jarak pasar yang cukup jauh dari kediaman, Wine mengajak sang suami untuk menemaninya. Keduanya menunggang ontel menuju pasar. Sesampainya di Woni, Ruso melihat seorang laki-laki mengenakan caping lari tunggang-langgang lintang-pukang seperti tengah berusaha menyelamatkan diri dari kejaran binatang buas. Tersebab rasa ingin tahu, Ruso mencegatnya. Dengan napas tersengal, lelaki kurus yang menyebut dirinya Mile memberitahu Ruso bahwa di bagian tengah pasar telah terjadi kekacauan yang mengakibatkan penganiayaan oleh seorang penggawa kampung. Mendengar kabar itu, Ruso segera berlari ke sumber kekacauan dan membereskan semuanya.

Lebe, 12 September 2023